.quickedit{ display:none; }

Jumat, 29 April 2011

Dakwaan Dalam Alam Baka--Mira W Bab III

BAB III

Pak Ikhsan cuma seorang guru SMA. Lelaki berpenampilan sederhana berumur tiga puluh lima tahun yang ditugasi mengajar bahasa Indonesia. Dia cuma lulusan sekolah pendidikan guru. Bukan lulusan fakultas. Tidak punya gelar sarjana.
   Tetapi dia seorang guru yang baik. Sikapnya tegas. Disiplinnya tinggi. Tidak pernah memanjakan muried. Tetapi tidak termasuk guru yang galak. Dan selalu siap mendengarkan keluhan murid-muridnya.
Cara mengajarnya enak. Sistematis. Tapi tidak membosankan. Jadi biarpun dia tidak menarik secara fisik, murid-muridnya menyukainya. Karena dibalik penampilannya yang sederhana, mereka menemukan sepotong hati yang yang bersih dan tulus.
    Pak Ikhsan  jarang datang terlambat. Tidak pernah membolos untuk alasan apapun. Dan tidak pernah terlihat hubungan mencurigakan dengan murid wanitanya, kendati istrinya sudah meninggal enam tahun yang lalu.
   Setelah menduda, Pak Ikhsan tinggal seorang diri, karena dia tidak dikaruni aanak. Tidak seorangpun menyangkal, Pak Ikhsan sering tampak kesepian. Rekan-rekannya malah menganggap dia sengaja menyibukkan diri dengan pekerjaan untuk mengusir kesepiannya. Tidak heran kalau dia terkenal sebagai guru yang rajin disekolahnya.
  Pak Ikhsan tidak pernah memanjakan Rindang. Tidak pernah menganakemaskannya. Tetapi ketika Rindang tertimpa musibah, dialah guru yang paling menaruh perhatian.
   Ketika melihat Rindang mengejar-ngejar Pak Sabdono, sebuah perasaan aneh menyelinap ke hatinya. Dan perasaan itu tidak mau mengaku mengapa dia justru mengejar-ngejar Pak Sabdono. Bukan guru yang lain.
   Pak Ikhsan tahu bagaimana dekatnya hubungan anak didiknya yang satu ini dengan guru olah raganya. Karena itu dia heran ketika Pak Sabdono tidak pernah menengok Rindang dirumah sakit.
   Mengapa Pak Sabdono enggan menjenguk murid kesayangannya? Mengapa dia seolah-olah malah mangkir? Menjauhkandiri? Apakah....ada hubungannya dengan bayi itu? Diakah yang harus bertanggung jawab?
   "Kamu tidak usah mengatakan siapa laki-laki itu kalau kamu tidak mau mengatakannya ,Rindang?" kata Pak Ikhsan sambil menghela napas panjang ketika dia membawa Rindang kerumahnya." Bapak tidak akan memaksa. Tidak ada orang yang berhak memaksamu".
   "Ayah selalu mendesak saya untuk mengatakan siapa laki-laki itu, Pak", desah Rindang lirih.
   "Jika kamu tidak mau mengatakan siapa laki-laki itu, kamu harus siap mempertanggung jawabkan sendiri perbutanmu. Anak itu akan menjadi bebanmu. Sanggupkah kamu menanggungnya seorang diri?"
   "Saya ingin merawatnya, Pak," air mata Rindang meleleh tak tertahankan lagi. "Tapi ayah malah mengusir saya!"
   "Jangan menyalahkan ayahmu. Anak itu memang bukan tanggung jawabnya".
   "Ayah saya ingin mengenyahkan anak itu! Tapi kemana saya harus membuangnya? Seumur hidupnya saya telah berusaha melenyapkannya. Tapi dia menempel terus pada saya!"  
   "Dia anakmu, Rindang!" Dia ada karena perbuatanmu!"
   "Saya merasa berdosa padanya, Pak. Sayalah yang telah membuat dia cacat! Saya ingin menebus dosa saya dengan merawatnya. Melindunginya. Tapi saya tidak punya rumah. Tidak punya uang. Tidak punya pekerjaan."
   "Dimana sekarang bayimu?"
   "Masih dirumah sakit,Pak. Dokter melarang saya membawanya pulang sampai dia cukup kuat untuk hidup diluar inkubator".
   "Jika kamu mau, bawalah dia nanti ke rumah Bapak. Untuk sementara kamu dan anakmu dapat tinggal disini. Bapak juga punya sedikit tabungan untuk melunasi biaya perawatan anakmu".
   Rindang menatap Pak Ikhsan dengan tatapan tidak percaya. Dia seperti mendengar sesuatu yang tidak disangka-sangka. Yang tidak masuk akal!
   "Semuanya terserah kamu" sambung Pak Ikhsan sabar ketika dilihatnya Rindang hanya tertegun bengong. "Pikirkan saja dulu".
   "Bapak sudi menolong orang seperti saya!" desis Rindang bingung. "Pada saat semua orang menjauhi saya seperti sampah?"
   "Bapak cuma ingin menolongmu. Memberi kamu dan anakmu yang malang itu tempat berteduh. Tapi kamu juga harus tahu resikonya".
   "Resiko apa, Pak?"
   "Bapak seorang duda. Tidak punya anak. Tidak punya siapa-siapa. Mungkin kita bakal memancing gunjingan orang. Apa kamu tahan?"
   "Apa bapak tahan?"
   Pak Ikhsan tersenyum lugu. Dalam senyuman itu Rindang membaca ketulusan hati yang tidak ternilai. Dan dia merasa sangat terharu
   "Untuk menolong orang, kadang-kadang kita perlu berkorban", sahut Pak Ikhsan tulus. "Tuhan tahu Bapak benar-benar hanya ingin menolongmu.Kepada-Nya lah kita wajib mempertanggung jawabkan perbuatan kita di dunia".


* * *


   Ternyata gunjingan orang muncul lebih hebat dan lebih kejam dari yang mereka sangka.
   Pak Ikhsan bukan hanya digunjingkan karena menampung seorang wanita yang bukan isterinya dirumahnya. Diamalah dituduh sebagai bapak anak haram muridnya!.
   "Tadi Pak Ikhsan dipanggil Pak Anwar", kata Nindya ketika kebetulan mereka bertemu di warung dekat rumah. "Katanya dia ditanya-tanya soal kamu".
   "Pak Ikhsan tahu apa? Dia hanya ingin menolong saya semua orang sudah memalingkan muka karena menganggap saya sampah busuk!"
   "Kasihan Pak Ikhsan. Gara-gara kamu, dia jadi korban. Semua orang bertanya padanya".
   "Bertanya apa? Dia tidak tahu apa-apa! Mereka harus bertanya pada saya!"
   "Kamu kan tidak mau bilang siapa bapak anakmu! Gara-gara kamu, Pak Ikhsan jadi korban! Dia yang dituduh menghamili kamu".
   Ya, Tuhan, keluh Rindang getir. Mengapa manusia sekejam itu? Mereka tidak mau menolong sesamanya yang mendapat kesusahan. Mengapa mereka masih sampai hati mencerca orang yang dengan tulus ingin menolong?


* * *


   "Bapak ingin tahu siapa ayah anak saya?" tanya Rindang gemas ketika keesokan paginya dia muncul di sekolah dan minta izin menemui kepala sekolah.
   Dia tidak menghiraukan tatapan penuh penghinaan dan ejekan menyakitkan yang dialamatkan teman-temannya kepadanya. Rasa malunya sudah hilang. Berganti dengan rasa marah atas ketidak adilan yang menimpa Pak Ikhsan.
   Pak Anwar terkejut sekali melihat kedatangannya. Tetapi dia tidak menolak permintaan Rindang untuk bertemu. Dia memang sudah menantikan pengakuan Rindang. Ingin tahu siapa yang berani merusak nama baik sekolah mereka.
   "Kamu sudah siap mengatakannya?" tanya Pak Anwar dingin. "Mengapa baru sekarang?"
   "Karena seorang guru yang tidak bersalah telah menjadi korban", sahut Rindang kesal. "Saya ingin membersihkan nama Pak Ikhsan. Beliau tidak bersalah!"
   "Tidak perlu Rindang".
   Pak Anwar dan Rindang sama-sama menoleh ke pintu. Pak Ikhsan tegak disana. Menatap Rindang dengan tenang.
   Sekali lihat saja, Pak Ikhsan tahu, Rindang serius.Dia benar-benar akan mengatakan siapa ayah anaknya. Untuk membersihkan nama orang yang telah menolongnya.
   Pak Ikhsan juga tahu nama siapa yang akan disebut Rindang. Meskipun Rindang belum pernah mengatakannya, naluri Pak Ikhsan telah menduga siapa laki-laki itu.
   "Kamu tidak perlu menyebut nama laki-laki itu untuk membela Bapak".
   "Tapi tidak adil, Pak!" protes Rindang gemas.
   "Bapak tidak bersalah! Ketika saya dalam kesusahan, cuma Bapak yang mau menolong saya! Apa hak mereka menuduh Bapak sekejam itu?"
   "Tidak ada yang menuduh Bapak", sahut Pak Ikhsan sabar. Dia menarik sebuah kursi dan duduk disamping Rindang." Pak Anwar hanya bertanya".
   "Kenapa Bapak sudi menampung saya? Apa hubungan Bapak dengan anak gelap saya? Itu yang ditanyakan Pak Anwar, kan?"
   "Bapak ingin bicara dengan kamu" sela Pak Anwar datar
   "Kenapa baru sekarang Bapak mau bicara dengan saya?"
   "Karena kamu tidak pernah mau bicara dengan saya".
   "Buat apa saya bicara dengan orang yang menghina saya?"
   "Itu hanya perasaanmu. Karena kamu merasa bersalah".
   "Saya memang bersalah!Tapi saya tidak mau membuat kesalahan yang kedua! Saya ingin merawat anak saya. Tapi tidak ada tempat untuk kami!"
   "Rumah saya selalu terbuka untuk kalian berdua, Rindang", cetus Pak Ikhsan lembut. "Apapun pendapat orang, saya tidak akan pernah jera menolongmu".



* * *


   Dua hari kemudian, Pak Anwar memerlukan datang ke rumah Pak Ikhsan. Ketika melihat bayi tanpa lengan itu terlelap dalam gendongan ibunya, Pak Anwar tidak dapat mengusir rasa ibanya.
   "Jika kamu mau saya bersedia menampung kalian berdua dirumah saya", katanya setelah menghela napas panjang. "Istri dan anak-anak saya sudah setuju. Kamu boleh tinggal sementara waktu sampai kamu mampu hidup sendiri".
   "Tidak", bantah Rindang tegas. "Saya mau tetap tinggal disini. Disinilah pertama kalinya anak saya merasa punya tempat yang tidak menolaknya".
   Orangtua Rindang sendiri tidak mau menerima anak itu. Ayah Rindang tetap pada ancamannya. Jika Rindang bersikeras membawa anaknya pulang, dia boleh mencari tempat tinggal lain. Tidak boleh pulang ke rumah ayahnya.
   Rindang telah berlutut didepan orangtuanya sambil menggendong anaknya yang cacat. Memohon belas kasihan mereka. Tetapi rupanya martabat lebih tinggi harganya dari kasih sayang. Bahkan dari sepercik rasa iba melihat anak yang tidak diinginkan itu terlelap tak berdaya dalam gendongan ibunya
   "Saya harus pergi kemana?" tangis Rindang pilu
   Dia benar-benar sudah putus asa. Umurnya belum genap delapan belas tahun. Tidak punya keluarga. Tidak punya pekerjaan. Tidak punya tempat tinggal. Dan dia punya seorang bayi cacat. Kemana dia harus pergi?
   Sudah terlintas di benaknya untuk membawa bayinya bunuh diri. Tetapi Pak Ikhsan muncul pada saat yang tepat. Hatinya yang mulia tersentuh melihat nasib muridnya yang malang itu.
   Rindang memang bersalah. Tetapi tak adakah jalan kembali bagi seorang pendosa?
   Dan bukan cuma Rindang. Dia punya seorang bayi yang tidak berdosa. Bayi malang yang sudah ditolak sejak masih dalam kandungan ibunya.
   Pak Ikhsan membawa mereka ke rumahnya yang sempit. Rumah sederhana yang untuk pertama kalinya menawarkan pada bayi itu sebuah tempat yang disebut rumah. Dan pada saat kedamaian mulai menjamahnya, badai menerpa dari luar.
   Gunjingan demi gunjingan melanda ketenangan mereka. Pak Ikhsan dapat tidak mengacuhkan gunjingan itu. Kecuali ketika kepala sekolah memanggilnya. Sekarang bukan hanya nama baiknya yang dipertaruhkan. Sekaligus pekerjaannya.
   Pak Ikhsan menghela napas berat. Ditatapnya bayi dalam gendongan Rindang.
   Sembilan bulan mereka tinggal bersama. Selama itu, mereka telah menjadi bagian dari hidupnya.
   Tangis bayi cacat itu telah menyemarakan rumahnya yang sepi. Tawanya yang lucu mengusir kekosongan hidup Pak Ikhsan. Dia tidak merasa bosan lagi hidup sendirian dirumah
   Sekarang dia harus kehilangan mereka. Harus kembali ke dunianya yang sepi. Hanya karena dia seorang duda dan mereka bukan keluarganya!
   "Pak Anwar menawarkan yang terbaik untukmu, Rindang", kata Pak Ikhsan berat. "Jangan salah mengerti. Beliau hanya ingin menolong".
   "Tapi kami ingin tetap disini, Pak! Biarlah saya jadi pembantu, asal tetap boleh tinggal disini!"
   "Untuk tinggal disini kamu tidak perlu jadi pembantu. Bapak tidak keberatan kamu dan anakmu tetap tinggal dirumah ini. Sampai kapanpun".
   "Kalau begitu jangan usir saya, Pak!"
   "Pikirkan baik-baik tawaran saya, Rindang" potong Pak Anwar tawar. "Kesempatan seperti ini tidak datang dua kali".
   Dengan agak tersinggung Pak Anwar meninggalkan rumah Pak Ikhsan. Dia menyimpan kekesalannya.Bekas muridnya itu benar-benar tidak tahu diri! Anugerah apalagi yang diharapkannya! Dia boleh tinggal dirumahnya sampai kapanpun. Bersama anak haramnya yang cacat itu. Tapi tawarannya itu ditolak mentah-mentah!
   "Kita tidak mungkin tinggal bersama, Rindang", desah Pak Ikhsan murung. "Orang baik-baik diluar sana keberatan kalau seorang duda seperti Bapak tinggal serumah dengan seorang wanita yang bukan isterinya...."
   "Apa yang dilakukan orang baik-baik itu ketika saya membutuhkan atapun untuk berteduh bersama bayi saya, Pak?"
   "Jangan sesinis itu, Rindang. Tidakbaik. Masyarakat kita memang masih kuat terikat oleh adat-istiadat. Mau tidak mau kita harus patuh kalau ingin menjadi anggota masyarakat yang baik".
   "Saya memang bukan orang baik-baik, Pak. Saya orang hina. Punya anak gelap. Kalau saya keluar dari rumah inipun, mereka tetap menganggap saya bukan perempuan baik-baik. Apa bedanya lagi bagi saya? Kemanapun saya pergi, cap itu sudah melekat pada saya. Dan semua orang tetap menghina saya".
   "Setiap orang sekali dalam hidupnya kita harus terus berbuat salah"
   "Bapak anggap kita bersalah karena tinggal serumah?"
   "Kita memang salah karena belum menikah".
   "Bapak ingin saya pergi?"
   "Kalau boleh memilih, Bapak ingin kamu dan anakmu tetap tinggal disini".
   "Bapak akan kehilangan pekerjaan kalau saya tetap disini?"
   "Pak Anwar tidak membicarakan pekerjaan".
   "Tapi Bapak tidak tahan mendengar cercaan orang, kan?"
   "Kamu tahan?"
   "Apa bedanya lagi bagi saya?"
   "Suatu hari anakmu akan menjadi besar, Rindang. Dia akan ikut merasakan hinaan itu".
   "Dia sudah merasakannya sejak masih dalam kandungan, Pak".
   "Tapi kamu tidak mau dia terus-menerus dihina, kan?"

   "Dia akan menjadi seorang gadis yang tabah. Penghinaan tidak akan menghancurkannya".
   "Tapi Bapak tidak rela dia dihina terus".
   "Bapak sayang padanya?"
   "Bapak sudah menganggapnya anak sendiri".
   "Kalau begitu, saya mohon, jangan usir kami, Pak!"
   "Bapak tidak pernah mengusir kalian. Kamu dan anakmu boleh tinggal disini sampai kapanpun. Bapak hanya ingin memberimu kesempatan untuk memilih. Jika kamu ingin bebas dari gunjingan orang, Pak Anwar sudah membuka pintu rumahnya".
   "Pernahkah seorang gadis yang hamil sebelum menikah terbebas dari gunjingan orang, Pak? Yang saya pikirkan cuma Bapak. Bapak orang yang sangat baik. Dan Bapak tidak bersalah. Bapak tidak pantas dihukum karena kesalahan saya!"



 * * *


   "Bagaimana, Pak? tanya Pak Anwar keesokan harinya. "Sudah ada keputusan?"
   "Rindang masih memikirkannya", sahut Pak Ikhsan lirih
   "Jangan terlalu lama. Nanti istri saya keburu mengubah pendiriannya. Tadi pagi dia bilang, tetangga sebelah menyebutnya bodoh karena mau membiarkan perempuan macam Rindang tinggal serumah dengan suaminya".
   Dan prasangka seperti itu pasti akan terus mengejar Rindang, kemanapun dia pergi, pikir Pak Ikhsan sedih. Kasihan dia. Berapa lama dia tahan didera kecurigaan istri Pak Anwar? Sampai kapan dia sanggup bertahan hidup dirumah mereka?
   "Saya tidak bisa memaksanya pergi, Pak". keluh Pak Ikhsan sedih
   "Pak Ikhsan harus memaksanya. Kalau perlu mengusirnya! Demi kebaikan Pak Ikhsan sendiri".
   "Saya tidak sampai hati".
   "Nama Pak Ikhsan akan rusak karena menolongnya".
   "Apa arti sebuah nama dibandingkan nyawa dua orang manusia?"
   "Dulu Pak Ikhsan berdalih menampung mereka karena tidak ada yang mau memberikan tumpangan. Sekarang sudah ada orang yang mau menolong mereka. Apalagi alasan Pak Ikhsan menahan mereka?"
   "Pak Anwar", suara Pak Ikhsan berubah dingin. "Bapak tidak mencurigai saya, kan?"
   "Saya kenal Pak Ikhsan seperti saya kenal diri saya sendiri! Tapi orang-orang diluar sana tidak!"
   "Begitu pentingkah pendapat mereka?"
   "Tidak kalau Pak Ikhsan bukan seorang guru! Seorang tokoh yang harus dihormati dan ditiru!"
   "Justru karena saya seorang guru, saya wajib menolong murid saya! Sebagai guru, kitalah pengganti orangtua mereka! Kemana lagi mereka harus minta tolong kalau bukan kepada kita, pak?"
   "Pak Ikhsan boleh menolong semua murid Bapak. Tapi bukan tinggal bersama mereka! Masyarakat akan mencela seorang guru pria yang tinggal bersama murid wanitanya!"
   "Kecuali saya mengambilnya sebagai isteri". Terlepas begitu saja kata-kata itu dari mulut Pak Ikhsan.
   "Jangan Pak!" cetus Pak Anwar kaget. "Tindakan itu malah akan tambah merusak nama Bapak! Orang- orang akan mengira Pak Ikhsan benar-benar ayah bayi itu! Siapa lagi yang mau menikahi ibu seorang bayi haram kecuali ayah bayi itu sendiri?"
   "Ya Tuhan!" Pak Ikhsan dadanya tiba-tiba terasa sakit. "Mengapa niat baik saya selalu dicurigai?"
   "Demi kebaikan Pak Ikhsan sendiri, saya keberatan dengan niat baik Bapak". Suara Pak Anwar terdengar sangat tegas dan berwibawa. "Jika Bapak bersikeras melakukannya juga, saya tidak dapat menolong bapak lagi".
   "Dan mempersilahkan saya mencari pekerjaan disekolah lain?" sambung Pak Ikhsan tawar.
   "Saya jamin tidak ada sekolah yang mau menerima guru yang menikah dengan muridnya yang punya anak gelap".
   "Kalau begitu dunia benar-benar kejam terhadap Rindang", desah Pak Ikhsan pilu
   "Dia sudah berbuat salah. Dia harus menanggung akibatnya. Menerima hukumannya".
   "Dan anaknya yang tidak bersalah itu juga harus menanggung hukuman atas dosa yang tidak pernah dilakukannya?"
   "Saya tidak ingin berdebat lagi, Pak", sahut Pak Anwar jemu. "Jika Bapak menolak tawaran saya, rasanya tidak ada kesempatan kedua untuk Rindang".


* * *


   Pak Ikhsan pulang ke rumah dalam keadaan lesu. Bukan hanya karena penat. Tapi karena pusing. Bingung.
 Mengapa sulit sekali menolong orang yang sedang berada dalam kesusahan? Mengapa niat baiknya selalu dicurigai?
   Dan kemuramannnya langsung hilang begitu melihat Rindang menyongsongnya didepan pintu. Bayi mungil dalam gendongannya tiba-tiba menyeringai lebar seperti mengenali siapa yang datang.
   "Pa...pa...pa..." Bibir mungil bayi itu berkecap-kecap lucu.
   "Hei, dia memanggil Bapak!" sorak Rindang gembira
   "Betul?" Kelesuan Pak Ikhsan langsung sirna. Matanya yang letih bersinar cemerlang. "Dia memanggil Bapak?"
   Di ambilnya anak itu dari gendongan Rindang. Dan bayi itu bukan saja tidak menolak. Dia malah seperti melonjak ke dalam rangkulan Pak Ikhsan. Bibirnya merekah. Menyunggingkan senyum lucu yang menggemaskan.
   Pak Ikhsan menyodorkan mainan yang baru saja dibelinya. Dengan gesit bayi itu menangkapnya dengan mulutnya.
   "Dia sudah mulai belajar memanfaatkan mulutnya sebagai pengganti tangan", desah Pak Ikhsan terharu
   Di ciumnya pipinya. Digendongnya anak itu sambil bersenandung. Diajaknya bercanda sambil menunggu Rindang menyiapkan makanan.
   Dia begitu menyayangi anakku. Pikir Rindang terharu. Bagaimana aku harus memisahkan mereka? Pak Ikhsan pasti sangat kehilangan. Kasihan sekali dia harus kembali ke dunianya yang sepi.
   Ketika pak ikhsan belum muncul juga di meja makan setelah makanan siap. Rindang mencarinya ke kamar. Dan dia melihat bayinya sedang terlelap dalam pelukan Pak Ikhsan yang juga sedang tertidur.
   Tak terasa menitik airmata Rindang melihat pemandangan itu. Dengan lembut disentuhnya bahu Pak Ikhsan. Digoyangkannya dengan hati-hati.
   Pak Ikhsan membuka matanya. Dan dia tersenyum ketika menyadari telah ketiduran bersama bayi Rindang.
   "Bapak pasti bukan perawat bayi yang baik", guraunya sambil meletakkan bayi itu dengan hati-hati agar tidak terjaga
   "Tapi Bapak guru yang baik", sahut Rindang menahan haru" Dan manusia paling baik yang pernah saya kenal".
   "Itu karena kamu belum banyak mengenal orang. kamu masih sangat muda".
   "Penderitaan sudah mendewasakan saya, Pak"
   "Tiap penderitaan pasti adalah hikmahnya, Dang"
   Rindang berbalik untuk menyembunyikan airmatanya
   "Mari makan, Pak. nanti makanannya keburu dingin".
   Mereka melangkah bersama-sama ke meja makan. Dan mata Pak Ikhsan terbuka lebar ketika melihat hidangan yang tersaji diatas meja.
   "Wah, hebat nian makanan hari ini, Dang", cetus Pak Ikhsan heran
  "Anggap saja sebagai hadiah perpisahan kita, Pak", sahut Rinndang menahan haru
   "Perpisahan?" belalak Pak Ikhsan bingung. Dia tidak jadi duduk didepan meja makan. Matanya mengawasi Rindang dengan cemas
   "Barangkali ini kesempatan terakhir saya dapat memasak untuk Bapak". Rindang memalingkan wajahnya yang telah penuh linangan airmata.
   "Kamu mau kemana? Kerumah Pak Anwar?"
   "Saya sudah memutuskan untuk pergi, Pak. Tapi bukan ke rumah Pak Anwar. Saya ingin merantau".
   "Merantau bersama seorang bayi? Kamu pasti mimpi!"
   "Saya tidak mau menyusahkan Bapak lagi".
   "Kata siapa kamu menyusahkan?"
   "Karena saya Bapak dihina orang".
   "Pak Anwar tidak menghina".
   "Bukan Pak Anwar".
   "Beliau ingin menolongmu..."
   "Sebenarnya Pak Anwar hanya ingin menolong Bapak".
   "Bagaimanapun lebih baik tinggal dirumahnya dari pada merantau entah kemana!"
   "Saya tidak mau tinggal dirumah Pak Anwar".
   "Kalau begitu kamu tidak boleh pergi."
   Rindang menoleh.Matanya yang berlinang air mata menatap Pak Ikhsan dengan pilu.
   "Kalau boleh memilih, saya juga ingin tetap tinggl disini sambil membesarkan anak saya, Pak. Tapi masyarakat beradab diluar sana tidak mengizinkannya. Karena itu saya terpaksa pergi".
   "Kamu mau pergi kemana, Dang? gumam Pak Ikhsan cemas. "Kemana kamu mau membawa bayimu?"
   "Kalau Bapak sayang pada anak saya, maukah Bapak merawatnya demi saya? Jika suatu waktu dia membutuhkan saya, saya pasti akan datang".

Kamis, 28 April 2011

Dakwaan Dari Alam Baka--Mira W Bab II

   "TIDAK ingin melihat anaknya, Dik?" tegur suster Ani, satu-satunya perawat yang selalu bersikap ramah terhadap Rindang.
   Perawat yang lain kesal pada sikap orangtuanya. Ada juga yang jijik kepada Rindang karena melahirkan anak gelap. Tapi suster Ani berbeda. Baginya setiap pasien sama berharganya. Harus dirawat dan dilayani dengan baik.
    Rindang menatap Suster Ani dengan tatapan ngeri.
   "Kenapa?" tanya Suster Ani lembut. "Takut melihat anakmu sendiri? Dia manis kok. Meskipun cacat. Sekarang masih di dalam inkubator. Kan lahir prematur."
   Rindang memejamkan matanya rapat-rapat. Seperti ingin mengusir bayangan anaknya. Anak yang hanya sekali pernah dilihatnya. Anak tanpa lengan....
   Itukah hasil perbuatannya? Dia ingin mengenyahkan anak itu. Ingin membunuhnya! Tapi dia tidak mati! Dia hidup....meski cacat!
   Ibunyalah yang membuatnya cacat. Ibunya yang ingin mengenyahkannya. Maembunuhnya!
   Bayi itu telah diteror. Diusik. Diganggu. Diusir. Tapi dia tidak mau pergi juga. Dia bertahan dalam rahim ibunya. Meski harus lahir tanpa lengan...Itukah akibat ulah ibunya? Akibat obat-obatan yang diberikan ayahnya?
   Ya Tuhan, betapa mahal harga yang harus dibayarnya untuk sebuah kehidupan yang tak pernah dimintanya. Betapa mahal harga helaan napas yang harus ditebusnya!
   "Daya tahannya luar biasa", komentar Dokter Toyib kagum, "Kelak dia akan menjadi gadis penyandang cacat yang hebat!".
   Tapi....apa hebatnya seorang penyandang cacat bagaimananpun kuatnya dia?
   "Kenapa dia tidak dilabiarkan mati saja?" kata-kata ibunya kembali menikam telinga dan hati Rindang. "Buat apa dia hidup kalau hanya untuk memberi malu keluarganya? Tidak punya lengan! Tidak punya ayah!".
   Tidak punya lengan. Tidak punya ayah
   Kata-kata itu terus menerus menggedor gendang telinganya. Tidak punya lengan. Tidak punya ayah. Tapi dia masih punya Ibu! DIa masih punya seorang...
   Tiba-tiba saja ada keinginan yang maha kuat dari hati Rindang untuk melindungi anaknya.
   "Kenapa dia tidak dibiarkan mati saja?"
   Tapi...mengapa anaknya tidak boleh hidup? Dia cacat. Dia haram. Tapi bukan berarti dia tidak boleh hidup!
   Jika Tuhan sudah memberinya kehidupan, kata siapa manusia boleh mencabutnya? Tidak seorang pun berhak melarangnya hidup!
   Dia telah kehilangan kedua belah tangannya. Tetapi dia tidak kehilangan semangatnya untuk bertahan hidup!
   Rindang harus membantu anaknya untuk tetap hidup. Barangkali dengan begitu dia dapat menebus dosanya. Menebus kesalahannya karena telah berusaha membunuhnya. Telah menyebabkan anaknya cacat!

* * *

   "Membawanya pulang?, geram ayah Rindang gusar. "Belum cukup kau beri malu orangtuamu?"
   "Tapi dia harus dikemanakan ayah? keluh Rindang getir "Dia sudah ada! Dan ada karena perbuatan saya! Dia harus disingkirkan kemana lagi?"
    "Barangkali ada orang yang mau mengadopsi anakmu".
   "Siapa yang mau mengadopsi anak cacat?"
   "Kalau begitu buat apa kau bawa dia pulang?"
   "Sepanjang hidupnya saya telah berusaha menyingkirkannya, Ayah. Sekarang saya ingin memilikinya. Karena di dunia ini, dia hanya punya saya. Ibu kandungnya!"
   "Memiliki seorang anak haram?" belalak ibunya kesal. "Anak yang tak punya ayah? Cacat pula! Tidak, Rindang. Sudah cukup kau corengkan arang di kening orantuamu!"
   "Harus saya buang kemana anak saya bu?" desah Rindang putus asa
   "Kau boleh memiliki anak itu kalau ayahnya mau mengawinimu. Kalau tidak, kau boleh pilih. Tinggalkan anak itu. Atau orangtuamu".
   "Bapak punya isteri. Punya anak". terbayang kembali wajah Pak Sabdono yang mengerut ketakutan. "Cobalah mengerti keadaan Bapak...."
   "Kenapa menemui saya disini?" keluh Pak Sabdono gelisah. Matanya berkeliaran resah ke sekeliling mereka.
   Tempat parkir motor di samping gedung sekolaj sudah mulai sepi. Tapi masih ada beberapa orang guru yang belum mengambil motor atau sepeda mereka. Sebentar lagi mereka pasti kemari.
   Apa kata mereka kalau melihat rekannya berbincang-bincang dengan Rindang di tempat sepi ini?
   Akhir-akhir ini nama Rindang memang sudah rusak berat. Dia dijauhi semua orang seperti wabah.
   "Saya perlu uang, Pak"
   "Uang?"
   "Untuk merawat anak kita".
   "Rindang!" cetus Pak Sabdono antara kaget dan ngeri, seolah-olah dia baru saja mengucapkan kata-kata berbahaya yang akan menggiringnya ke penjara. "Jangan bicara seperti itu!"
   "Bukan cuman Bapak yang takut!" geram Rindang gemas. "Saya juga takut. Tapi saya tidak bisa bersembunya seperti Bapak! Saya harus merawat anak kita! Dan saya perlu uang!"
   "Kembalilah pada orangtuamu!" pinta Pak Sabdono memelas. Separo memohon
   "Saya ingin kembali, Pak", desah Rindang menahan tangis. "Tapi jalan untuk kembali telah tertutup!" Air mata Rindang mengalir ke pipinya. "Dan semua itu gara-gara Bapak!"
   "Mari kita bicara di tempat lain, Rindang". pinta Pak Sabdono resah sambil lekas-lekas mendorong motornya. Ekor matanya sudah menangkap bayangan Pak Ikhsan di kejauhan. Dia pasti kemari untuk mengambil sepedanya.
   "Saya sudah tidak ingin bicara, PAk. Tidak ada gunanya lagi. Saya sudah tahu apa yang ingin Bapak katakan".
   "Kita jangan kelihatan orang berduaan disini. Nanti mereka curiga".
   "Karena itu Bapak tidak pernah menengok saya di rumah sakit? Tidak mau menengok anak Bapak?"
   "Kamu tidak mau mengacaukan rumah tangga saya, kan?" desis Pak Sabdono jengkel. "Menghancurkan perkawinan saya?"
   "Bapak tidak merasa sudah menghancurkan hidup saya?"
   "Jadi apa maumu?"
   "Saya cuma minta uang"
   "Kamu mau memeras saya?"
   "Memeraskah namanya minta uang untuk membesarkan anak Bapak sendiri?"
   "Bapak tidak bisa memberimu uang. Lebih baik kamu pulang saja".
   "Saya bukan pengemis, Pak! Saya bisa merusak nama Bapak! Tapi saya tidak mau. Saya cuma menuntut sedikit tanggung jawab Bapak!"
   "Jangan mendesak saya, Rindang! Saya tidak bisa diancam!"
   Bergegas Pak Sabdono meninggalkan Rindang. Tapi RIndang masih berjuang untuk memperoleh sisa-sisa haknya yang terakhir.
   Sambil terisak-isak dia mengejar gurunya. Tapi karena terlalu tergesa-gesa, dia tergelincir dan jatuh terduduk.
   Seseorang mengulurkan tangannya. Ketika Rindang mengangkat mukanya, dia melihat Pak Ikhsan tegak dihadapannya. Saat itu motor Pak Sabdono telah jauh meninggalkannya.
  

Rabu, 27 April 2011

Dakwaan Dari Alam Baka--Mira W Bab I

LEMBAR PEMBUKA

"MENYATAKAN bahwa terdakwa Sabdono Lesmono, terbukti dengan sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, perbuatan cabul dengan anak didiknya yang belum dewasa. Menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama tujuh bulan, dan menghukum terdakwa untuk membayar ongkos perkara sebesar....."
   Farida menghela napas panjang. Sebagian tuntutannya memang berhasil. Laki-laki itu telah dijatuhi hukuman. Tetapi hukuman yang tidak setimpal atas dosanya
   Tujuh bulan penjara untuk perbuatan yang demikian menjijikan! Memerkosa anak didiknya yang masih di bawah umur. Seorang pelajar kelas satu SMA yang baru berumur lima belas tahun!
   Dan laki-laki biadab itu hanya dihukum tujuh bulan!
   Padahal Farida menuntut hukuman dua belas tahun penjara. Hukuman maksimal untuk kasus pemerkosa menurut KUHP Pasal 285.
   Tetapi hakim menganggap kasus itu bukan perkosaan. Hanya perbuatan cabul atas dasar mau sama mau. Bukan paksaan.
   Karena itu terdakwa hanya divonis tujuh bulan penjara. Tujuh bulan untuk perbuatan menghancurkan masa depan seorang gadis remaja berumur lima belas tahun!
   Ah, haruskah anak perempuan Pak Hakim itu sendiri yang jadi korban baru dia dapat ikut merasakan penderitaan seorang korban perkosaan!
Saat itu barangkali dia baru dapat menjatuhkan hukuman yang lebih berat kepada si pelaku!

MEDAN 1958
BAB I
SELURUH sekolah gempar.
   Seorang siswi kelas dua SMA ditemukan melahirkan di WC sekolah!
   Kepala sekolah yang mendapat laporan dari murid-murid yang melihat genangan air bercampur darah mengalir keluar ke celah-celah bawah pintu WC, langsung mendobrak pintu bersama Pak Ikhsan, guru bahasa Indonesia.
   Dan mereka menemukan Rindang meringkuk ketakutan. Roknya yang putih berlumuran darah. Wajahnya pucat pasi. Bibirnya gemetar. Lebih banyak karena takut daripada menahan sakit.
   Tetapi bukan pandangan itu yang membuat Ibu guru Santi mendadak terkulai lemas dengan perasaan mual.
   Seonggok daging berlumuran darah....Ya Tuhan! Daging itu...seorang bayi! Bayi kurus kecil tanpa lengan...terkapar tak berdosa di lantai WC....
   Hanya Pak Ikhsan yang cukup tegar bertindak. Sementara Pak Anwar dan Bu Santi hanya bisa termangu dilibat shock.

* * *

Daya tahan tubuh bayi perempuan tanpa lengan yang hanya memiliki bobot satu kilo lebih itu ternyata luar biasa. Setelah mendapat pertolongan darurat di rumah sakit terdekat, dia mulai memperlihatkan tanda-tanda kehidupan.
   Tangisnya yang lemah seolah-olah mengabarkan kehadirannya di tempat yang hampir menolaknya.
   "Dia selamat," Dokter Toyib berdesah kagum.
"Bayi ini hidup! Dia mampu bertahan!"
   Tetapi sambutan keluarganya sungguh mengecewakan
   "Untuk apa dia dibiarkan hidup?" keluh ibu Rindang pahit. " Untuk apa Dokter menolongnya? Dia hidup hanya untuk memberi aib keluarga! Bayi tanpa lengan! Tanpa ayah!"
   "Kita harus memaksa Rindang mengatakan siapa bapaknya?" geram ayah Rindang sengit. "Lelaki itu harus bertanggung jawab!"
    "Apa gunanya? Aib ini takkan terhapus sekalipun ada lelaki yang mengaku! Anak itu bukan cuma haram! Dia cacat! Buat apa dia dibiarkan hidup kalau hanya untuk menyiksa kita?"
   "Keterlaluan", desis Dokter Toyib kepada perawatnya setelah orang tua RIndang berlalu. "Kita berjuang untuk menyelamatkan bayi itu. Bukannya berterima kasih mereka malah menggerutu!"
   "Bukan hanya menggerutu, Dok", dumal suster Tiar kesal. "Mereka menyumpahi cucunya sendiri! Berharap agar anak itu mati!"
   "Sekarang mereka pasti sedang memaksa anaknya mengatakan siapa bapak bayi itu!"

* * *

Tetapi Rindang tidak berani mengatakan siapa ayah anaknya. Lagipula....siapa yang percaya?
   Pak Sabdono guru olahraga yang disegani. Terkenal ganteng. Simpatik. Ramah. Tapi tidak genit. Berwibawa. Namun tidak galak.
   Umurnya dua puluh empat tahun. Baru satu setengah tahun menikah. Dan mempunyai  seorang anak perempuan berumur tujuh bulan. Nah, siapa yang percaya? Siapa yang percaya kalau suami dan bapak yang berbahagia itu masih tega menodai muridnya?
   Teman-teman memang tahu Rindang merupakan anak emas Pak Sabdono. Nilai olahraganya selalu delapan, meskipun dia boleh tidak ikut pelajaran olahraga kapan saja dia mau. Tetapi siapa yang tahu betapa intimnya hubungan mereka akhir-akhir ini?
   Di sekolah, sikap Pak Sabdono selalu wajar. Kepada siapa pun dia memang selalu ramah. Bukan hanya kepada Rindang.
   Sebaliknya sikap Rindang pun tidak berlebihan. Dia memang agak manja. Tetapi kemanjaan itu diperlihatkannya kepada semua guru dan teman-teman. Laki-laki ataupun perempuan. Tua ataupun muda.
   Dan Rindang memang punya modal untuk itu. Dia cantik. Pintar pula. Tidak heran kalau dia terpilih menjadi ketua kelas. Dan hubungannya dengan Pak Sabdono tentu saja bertambah dekat.
   Mereka sering terlihat bersama-sama mendekorasi aula kalau ada perayaan di sekolah. Sering bersama pula sebagai panitia bila ada perlombaan olahraga di sekolah.
   Pak Sabdono juga sering mengantarkan RIndang pulang kalau kegiatan itu menyita waktu mereka sampai malam. Dia punya motor. Dan rumah mereka searah. Jadi apa salahnya kalau RIndang membonceng motor gurunya? Tidak ada yang curiga kan?
   "Kamu tidak mungkin hamil", kata Pak Sabdono mantap ketika Rindang akhirnya memberanikan diri untuk mengadu.
   Sudah dua bulan Rindang tidak mendapat haid. Padahal biasanya haidnya selalu lancar. Tidak pernah terlambat datang. Apalagi absen.
   Dan ingatannya kembali ke rumah gurunya. Ketika suatu malam dia diantarkan pulang.
   Malam itu, berbeda dengan malam-malam sebelumnya, Pak Sabdono tidak langsung mengantarkannya pulang. Katanya dia harus menengok rumahnya dulu. Saat itu isterinya tidak ada di rumah karena sedang melahirkan. Jadi dia khawatir kalau ada pencuri masuk ke rumahnya yang kosong.
    Tentu saja itu hanya alasan. Karena sesampainya di rumah, Pak Sabdono itu memeriksa pintu maupun jendela. Dia langsung mengajak Rindang mengobrol di ruang tamu. Dan bertambah malam, obrolan mereka bertambah hangat. Akhirnya bukan hanya kata-katanya saja yang semakin hangat. Belaian tangannya pun semakin hangat.
   Saat itu Rindang merasa sangat bahagia. Dia merasa tersanjung. Merasa dimanja. Merasa dikasihi. Tetapi sekarang...apa tanggapan Pak Sabdono?
   "Kamu tidak mungkin hamil. Kita tidak melakukan apa-apa".
   Rindang jadi bingung. Apa sebenarnya yang harus dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan supaya hamil? Tidak cukupkah seperti apa yang mereka lakukan pada malam itu?
   Mengapa gurunya begitu mantap? Begitu yakin?
   Tapi Pak Sabdono seorang guru. Seorang suami. Seorang Bapak. Dia pasti serba tahu. Pengetahuannya jauh diatas muridnya. Jadi dia pasti benar. Rindang tidak hamil!
   Tetapi...mengapa perut ini kian hari kian membesar juga? Dan menstruasinya tak kunjung datang?
   Pak Sabdono tidak menyuruhnya berobat. Tidak menganjurkannya memeriksakan diri ke dokter. Kelihatannya dia menganggap enteng saja.
   Dia hanya memberikan dua macam obat. Tablet-tablet yang dikatakannya vitamin.
   "Supaya haidmu lancar", katanya tenang.
   Tetapi menjelang bulan kelima, perutnya semakin membuncit. Dan haidnya belum datang juga.
   Rindang semakin gelisah. Dia mulai panik. Bingung menyembunyikan perutnya.
   Di rumah, dia dapat memakai daster longgar. Orantuanya terlalu sibuk untuk memerhatikannya. Ayah dan ibunya sama-sama sibuk berdagang di pasar. Saudara dia tidak punya. Jadi di rumah dia aman.
   Tapi di sekolah? Bagaimana menyembunyikan perutnya dari tatapan curiga gurunya? Teman-temannya?
    Rindang sudah melakukan apa saja untuk mengeluarkan haidnya. Dia melompat-lompat. Mengayuh sepeda. Mencangkul. Memompa. Mengangkat benda-benda berat. Itu semua atas nasihat Pak Sabdono. Tetapi haidnya tidak muncul juga.
   Akhirnya Rindang putus asa. Dia mencari seorang dokter. Yang jauh dari rumah dan sekolahnya. Tentu saja dengan harapan dokter tidak mengenalnya.
   Dan kata-kata dokter itu hampir membuatnya pingsan.
    "Adik hamil", katanya mantap. "Dua puluh empat minggu".
   Hamil! YA Tuhan! Dia mengandung bayi Pak Sabdono! Dan gurunya yang biasanya selalu bersikap ramah dan baik itu pasti tidak mau bertanggung jawab?
   "Kamu tidak mungkin hamil", katanya mantap.
"Kita tidak melakukan apa-apa".
   Jadi tidak mungkin memaksanya untuk mengakui anaknya. Bukankah menurut pendapatnya mereka tidak melakukan apa-apa? Padahal umur kehamilan cocok dengan saat mereka melakukan hubungan intim di rumah Pak Sabdono....
   Dengan panik RIndang memohon agar kandungannya digugurkan. Tetapi dokter itu menolak.
   "Kandunganmu memang kelihatan kecil. Tidak sesuai dengan umur kehamilan. Tapi sudah terlambat untuk digugurkan".
   Sejak itu Rindang tidak berani lagi muncul di sekolah. Dari rumah dia memang pergi setiap hari. Tetapi bukan ke sekolah.
   Kalaupun dia nekat ke sana pagi ini, dia hanya berani menunggu di kejauhan. Mencari kesempatan untuk menemui Pak Sabdono.
   Ketika melihat motornya datang dari kejauhan, Rindang melompat untuk menghadangnya. Tetapi melihat RIndang, Pak Sabdono membelokkan motornya. Dan cepat-cepat memilih jalan lain untuk menghindar.
   Dengan putus asa Rindang mengejarnya dan memanggil-manggil gurunya. Tetapi Pak Sabdono malah makin cepat mamacu motornya. Dia tidak mau menoleh. Apalagi berhenti.
   Seorang pengemudi mobil yang melihat seorang gadis berlari-lari mengejar sebuah motor, sempat memburu Pak Sabdono. Dan memaksanya untuk berhenti.
   "Bapak nabrak anak itu ya?" bentak pengemudi itu jengkel. "Jangan lari! Bapak harus bertanggung jawab!"
   "Dia murid saya!" balas Pak Sabdono sama kesalnya "Tidak usah ikut campur!"
   Ketika mobil itu telah berlalu, baru Pak Sabdono menoleh ke arah Rindang yang sudah tiba di dekatnya dengan napas tersengal-sengal dan keringat bercucuran.
   "Dari mana saja kamu?" tegurnya marah.
   "Bagaimana saya harus ke sekolah dengan membawa perut ini?" balas Rindang separo menangis. "Saya sudah hamil tujuh bulan, Pak! Bapak Jahat! Bapak bilang saya pasti tidak hamil!"
   Karena mereka mulai menarik perhatian orang-orang di jalan kecil itu, terpaksa Pak Sabdono memboncengkan Rindang meninggalkan tempat itu.
   "Orangtuamu belum tahu?" tanya Pak Sabdono datar. Nada suaranya kering. Berbeda sekali dengan dulu. Dulu dia selalu ramah.
   "Bagaimana saya harus memberitahu mereka?"
   "Obat-obat yang saya berikan selalu diminum? Tiap hari?"
   Saat itu barulah Rindang sadar, obat apa yang diberikan Pak Sabdono. Obat itu pasti bukan vitamin!.
   "Bagaimana, Pak?" tangis Rindang ketakutan. "Saya harus berbuat apa?"
   Tapi Pak Sabdono juga sama takutnya. Belum pernah Rindang melihat guru yang sangat dikaguminya itu bersikap seperti ini.
   Sekarang mereka tidak ada bedanya dengan sepasang ikan yang terperangkap dalam jala. Tidak ada guru, tidak ada murid. Tidak ada suami, tidak ada gadis. Tidak ada Bapak, tidak ada anak.
   Mereka sama bingungnya. Sama takutnya. Saat itulah hancurlah respek Rindang terhadap gurunya. Ternyata dia cuma manusia biasa! Tidak ada bedanya dengan dirinya!
   "Bapak punya anak, Dang". suara Pak Sabdono sudah sampai ke nada memohon. Mengiba-iba. "Punya istri. Tidak mungkin mengawinimu. Cobalah mengerti keadaan Bapak".
   Tetapi mengapa hanya aku yang harus mengerti keadaannya, pikir Rindang getir ketika dia sedang melangkah gundah ke sekolah. Tidakkah dia juga harus mengerti kesulitanku?
   Kepala sekolah telah mengirimsurat kepada ayahnya. Rindang sudah sebulan tidak masuk sekolah. Dan ayah sangat marah.
   "Awas kalau kau berani bolos lagi!" geram ayah Rindang gusar "Kuusir kau dari rumah ini!"
   Rindang takut sekali. Diusir dari rumah sungguh malapetaka yang mengerikan! Kemana dia harus pergi?
   Tetapi datang ke sekolah sama menakutkannya. Apa yang harus dijawabnya kalau teman-teman menanyakan perutnya?
   "Besok Bapak bawa kamu ke dokter", bujuk Pak Sabdono kewalahan. Sekedar supaya Rindang mau melepaskannya pergi. Dan tidak membuntutinya lagi. Aduh anak ini benar-benar merepotkan!
   "DOkter tidak mau menggugurkan kandungan saya, PAk" rintih Rindang putus asa. "Katanya kehamilan saya sudah terlalu besar. Buat apa Bapak bawa saya ke dokter lagi?'
  "Bapak punya kenalan", Rindang tidak tahu Pak Sabdono berbohong atau tidak. Apa bedanya lagi? Kalaupun ia berkata benar, Rindang sudah tidak mempercayainya! "Dia pasti bisa menolongmu. Sekarang biarkan Bapak pergi. Jangan mengikuti Bapak lagi. Nanti orang-orang curiga"
  Nanti orang-orang curiga 
  Hanya itu yang penting baginya sekarang. Nama baiknya. Kehormatannya. Keluarganya. yang lain tidak penting! Persetan dengan RIndang! Persetan dengan kehamilannya!
   Begitu Rindang turun dari motornya, cepat-cepat Pak Sabdono kabur ke tempat lain. Supaya mereka tidak terlihat bersama-sama ke sekolah. Kalau perlu, hari ini bolos saja. Tidak usah mengajar. Supaya tidak usah menyaksikan kegaduhan di sekolah....
   Kehamilan Rindang seudah tidak mungkin ditutupi lagi. Teman-temannya pasti tahu. Kepala sekolah tahu. Dan kalau Rindang dipanggil menghadap, Pak Sabdono tidak ingin berrada di sana....
   Dengan sedih Rindang melangkah gontai memasuki gerbang sekolahnya. Hari masih pagi. Tetapi Nidya sudah datang. Sahabatnya yang cerewet itu sudah menunggu di depan kelas. Dan mulutnya pasti tidak bisa disumbat!
   Tiba-tiba saja Rindang merasa perutnya mulas didera rasa takut. Bagaimana menyembunyikan kehamilannya dari mata NIndya yang tajam?
   Tas yang dibekapnya erat-erat di depan perutnya tidak mungkin lagi menyembunyikan perutnya yang sudah membuncit. Sebentar lagi Nindya pasti tahu. Semua orang tahu...dia hamil!
   Bergegas Rindang ke WC. Karena terburu-buru menghindari pandangan Nindya, dia menjadi kurang hati-hati. Tidak melihat lantai yang belum kering bekas dipel. Dia tergelincir dan jatuh terduduk.
   Rasa sakit menikam pinggulnya. Perutnya terasa lebih sakit lagi seperti hendak buang air besar. Pasti akibat rasa takutnya. Pasti....
   Tergopoh-gopoh Rindang merayap bangun. Berdiri dengan limbung dan masuk ke dalam WC.
   Tetapi yang dikeluarkannya di sana benar-benar sesuatu yang di luar dugaaan....darah! Darah!
   Dan bukan itu saja....bukan cuma darah.... 





My Girl



Title:  마이걸 / Ma-i-geol / My Girl 
Chinese Title : 我的女孩
Genre: Romance, Comedy
Episodes: 16
Broadcast network: SBS
Broadcast period: 2005-12-14 to 2006-02-02
Air time: Wednesday & Thursday 9:55 PM

Sinopsis :
Aku mereview dorama ini karena ada OPpa Lee Jun Kie, tapi filmnya juga bagus kok. Recomended banget buat ditonton dan dijadikan koleksi. 
Joo Yoo-rin tinggal berdua bersama ayahnya yang suka berjudi dan mabuk2an karena terbiasa kerja keras untuk bertahan hidup membuat Yoo-rin menjadi gadis yang tangguh,tahan banting dan ahli dalam melihat kesempatan yang ada. Dan kesempatan tak terduga itu datang ketika dia tidak sengaja bertemu dengan Seol Gong-chan yang baru datang ke pulau tempat Yoo-rin dan ayahnya tinggal.

Pada awalnya Gong-chan minta tolong pada Yoo-rin untuk menjadi penerjemah pada tamu hotelnya yang orang jepang dengan imbalan sejumlah uang tentunya. Setelah tugas itu selesai dan Gong-chan harus kembali ke Jepang untuk mencari sepupunya yang telah lama hilang bersama sekretarisnya yang sangat bisa dihandalkan mereka pergi ke Jepang tapi sayangnya tidak banyak informasi yang bisa di dapat. Gong-chan pun memutuskan untuk kembali ke Korea dan ketika sekretarisnya mengatakan bahwa sosok Yoo-rin...mirip dengan sepupunya yang hilang selama ini.
Walaupun pada awalnya Gong-chan sempat kesal dengan sikap Yoo-rin yang suka menipu dan enaknya sendiripun akhirnya sadar mungkin gadis itu adalah jalan keluarnya karena ia teringat janjinya pada sang kakek untuk membawa sepupu yang telah lama hilang kehadapan sang kakek yang saat ini sedang sakit di Korea.
Meskipun pada awalnya Yoo-rin menolak ide itu tapi menginggat ia di kejar2 oleh para rentenir yang menagih hutang ayahnya ditambah lagi imbalan menggiurkan yang akan diterima, akhirnya dia pun menerima tawaran Gong-chan untuk pura-pura menjadi sepupunya. Ketika Gong-chan membawa Yoo-rin kehadapan kakeknya tiba-tiba pria itu bisa sadar dari komanya. Yoo-rin yang berpikir bahwa tugasnya telah selesai ingin kembali ke pulau tapi ternyata kakek meminta dia untuk tinggal bersamanya di Korea.
Walaupun pada awalnya ada yang curiga dengan keberadaaa Yoo-rin tapi gadis itu mampu meyakinkan orang2 tersebut dengan keahliannya dalam berbohong. Tugas utama Yoo-rin dirumah itu adalah melayani sang kakek dan hari minggu dia boleh libur, suasana rumah Gong-chan pun berubah menjadi lebih ramai dengan kehadiran Yoo-rin, meskupun pada awalnya Yoo-rin sulit beradaptasi dengan lingkungan keluarga Gong-chan yang penuh aturan tapi yang tidak pernah terlintas dipikirannya adalah dia telah jatuh cinta kepada Gong-chan. Gong-chan yang saat itu telah kembali kekasih lamanya Kim Seo Hyun seorang atlet tennis yang dulu pernah meninggal Gong-chan demi memenuhi ambisinya untuk menjadi atlet tennis professional.
Seiring kebersamaannya Yoo-rin perlahan-lahan timbul perasaan lain di hati Gong-chan perasaan cemburu ketika Yoo-rin pergi dengan Seo Jung Woong sepupu Gong Chan, seorang playboy yang pernah menolong Yoo-rin dari kejaran rentenir ketika di pulau, konflik di antara mereka semakin rumit ketika sang kakek memutuskan mengenalkan Yoo-rin di muka umum ini berarti menutup kesempatan bagi Yoo-rin dan Gong-chan untuk bersama sebagai sepasang kekasih, Kemudian Gong-chan memutuskan untuk pergi ke pulau demi menghindari acara perkenalan dengan Yoo-rin tapi ketika sedang menunggu di bandara dan melihat salju yang turun dia ingat kepada Yoo-rin dan memutuskan untuk datang ke acara perkenalan itu dan berani menghadapi perasaannya kepada Yoo-rin.
Agar bisa terus bersama dengan Yoo-rin, Gong-chan terus mencari sepupunya yang asli dan tanpa disadari olehnya ternyata Seo Jung Woong mengetahui bahwa Yoo-rin bukanlah sepupu asli Gong-chan dan tidak lama berselang Kim Seo Yun juga mengetahui fakta tersebut, bahkan gadis itu karena cemburu membongkar rahasia itu di hadapan kakek Gong-chan, tentu saja sang kakek sangat marah dan meminta Yoo-rin untuk meninggalkan rumah itu dan tidak muncul lagi di hadapan Gong-chan untuk selama-lamanya..
Lanjutannya tonton sendiri ya!!!!   

Cast:
 Lee Dong Wook as Seol Gong-chan
Seol Gong chan (Lee Dong Wook) adalah satu-satunya ahli waris dari pemilik L'Avenuel Hotel, yang merupakan salah satu hotel top di Korea. Kakeknya, Seol Woong, menyewa seorang detektif untuk mencari cucunya, yang juga sepupu Gong-chan. Seol Woong yang tidak mengakui putrinya sendiri, bibi Gong-chan, ketika ia memutuskan untuk menikah dengan orang yang tidak sesuai dengan pilihannya. Namun, ketika Seol Woong telah berubah pikiran dan ingin menerima kembali putrinya, sebuah gempa bumi melanda tempat putrinya tinggal, dan sejak itu, ia telah kehilangan kontak dengan kerabat dan mungkin kesempatan untuk membuat perubahan untuk membalas semua kesalahannya terdahulu yaitu dengan cara merawat cucunya.

Lee Da Hae as Joo Yoo-rin 
Joo Yoo Rin (Lee Da Hae) adalah seorang pemandu wisata di sebuah perusahaan kecil yang bertugas menjalankan mini wisata di Pulau Jeju Korea Selatan. Ayahnya adalah seorang pecandu judi, tetapi meskipun semua utang ayahnya menjadi tanggung jawabnya, Yoo Rin selalu menemukan cara untuk membayar utang. Dia bahagia jika hidup bersama ayahnya walau hanya hidup sederhana.Karena ayahnya yang suka berjudi, dia harus pindah dari satu negara ke negara setiap kali ayahnya berjalan dari satu tempat ke tempat lain untuk menghindari para penagih hutang. Hal inilah yang menguntungkan Yoo-rin untuk berkomunikasi lancar dalam bahasa Cina dan Jepang, yang sangat membantu sebagai pemandu wisata setiap kali dia harus menghibur turis dari Cina dan Jepang. 

Lee Joon Ki as Seo Jung-woo
Seo Yeong-woo (Lee Jun Ki) adalah anak dari salah satu pemegang saham utama L'Avenuel Hotel dan juga teman terbaik Seol Gong-chan. Tidak seperti Gong-chan yang bertanggung jawab dan pekerja keras, Yeong-woo adalah seorang playboy yang dikenal memiliki banyak pacar.

Park Si Yeon as Kim Seo-hyun
Seorang bintang lapangan tennis.SeoSeia kembali ke Korea untuk mencari Gong-chan karena dia tidak bisa melupakannya.

Cast Extended :
 Jo Kye Hyung as Ahn Jin Kyu
Hwang Bo Ra as Ahn Jin Shim
Lee Eon Jeong as Yoon Jin Kyung
Byun Hee Bong as Seol Woong (Gong Chan’s grandfather)
Kim Yong Rim as Jang Hyung Ja (Jung Woo’s mother)
Ahn Suk Hwan as Jang Il Do
Choi Ran as Bae In Sun
Jung Han Hun as Joo Tae Hyung (Yoo Rin’s father)
Han Chae Young as Choi Ha Na (the real granddaughter, cameo)
Jae Hee as Lee Mong Ryong (Ha Na’s husband, cameo)
Oh Ji Young as Seo Hyun’s assistant / traveling companion
Han Young Kwang

Production Credits
Chief Producer: Kim Young Sup
Producer: Bae Tae Sup
Screenwriter: Hong Jung Eun / Hong Mi Ran
Director: Jun Ki Sang
Asst. Director: Park Soo Chul (박수철)