.quickedit{ display:none; }

Rabu, 27 April 2011

Dakwaan Dari Alam Baka--Mira W Bab I

LEMBAR PEMBUKA

"MENYATAKAN bahwa terdakwa Sabdono Lesmono, terbukti dengan sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, perbuatan cabul dengan anak didiknya yang belum dewasa. Menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama tujuh bulan, dan menghukum terdakwa untuk membayar ongkos perkara sebesar....."
   Farida menghela napas panjang. Sebagian tuntutannya memang berhasil. Laki-laki itu telah dijatuhi hukuman. Tetapi hukuman yang tidak setimpal atas dosanya
   Tujuh bulan penjara untuk perbuatan yang demikian menjijikan! Memerkosa anak didiknya yang masih di bawah umur. Seorang pelajar kelas satu SMA yang baru berumur lima belas tahun!
   Dan laki-laki biadab itu hanya dihukum tujuh bulan!
   Padahal Farida menuntut hukuman dua belas tahun penjara. Hukuman maksimal untuk kasus pemerkosa menurut KUHP Pasal 285.
   Tetapi hakim menganggap kasus itu bukan perkosaan. Hanya perbuatan cabul atas dasar mau sama mau. Bukan paksaan.
   Karena itu terdakwa hanya divonis tujuh bulan penjara. Tujuh bulan untuk perbuatan menghancurkan masa depan seorang gadis remaja berumur lima belas tahun!
   Ah, haruskah anak perempuan Pak Hakim itu sendiri yang jadi korban baru dia dapat ikut merasakan penderitaan seorang korban perkosaan!
Saat itu barangkali dia baru dapat menjatuhkan hukuman yang lebih berat kepada si pelaku!

MEDAN 1958
BAB I
SELURUH sekolah gempar.
   Seorang siswi kelas dua SMA ditemukan melahirkan di WC sekolah!
   Kepala sekolah yang mendapat laporan dari murid-murid yang melihat genangan air bercampur darah mengalir keluar ke celah-celah bawah pintu WC, langsung mendobrak pintu bersama Pak Ikhsan, guru bahasa Indonesia.
   Dan mereka menemukan Rindang meringkuk ketakutan. Roknya yang putih berlumuran darah. Wajahnya pucat pasi. Bibirnya gemetar. Lebih banyak karena takut daripada menahan sakit.
   Tetapi bukan pandangan itu yang membuat Ibu guru Santi mendadak terkulai lemas dengan perasaan mual.
   Seonggok daging berlumuran darah....Ya Tuhan! Daging itu...seorang bayi! Bayi kurus kecil tanpa lengan...terkapar tak berdosa di lantai WC....
   Hanya Pak Ikhsan yang cukup tegar bertindak. Sementara Pak Anwar dan Bu Santi hanya bisa termangu dilibat shock.

* * *

Daya tahan tubuh bayi perempuan tanpa lengan yang hanya memiliki bobot satu kilo lebih itu ternyata luar biasa. Setelah mendapat pertolongan darurat di rumah sakit terdekat, dia mulai memperlihatkan tanda-tanda kehidupan.
   Tangisnya yang lemah seolah-olah mengabarkan kehadirannya di tempat yang hampir menolaknya.
   "Dia selamat," Dokter Toyib berdesah kagum.
"Bayi ini hidup! Dia mampu bertahan!"
   Tetapi sambutan keluarganya sungguh mengecewakan
   "Untuk apa dia dibiarkan hidup?" keluh ibu Rindang pahit. " Untuk apa Dokter menolongnya? Dia hidup hanya untuk memberi aib keluarga! Bayi tanpa lengan! Tanpa ayah!"
   "Kita harus memaksa Rindang mengatakan siapa bapaknya?" geram ayah Rindang sengit. "Lelaki itu harus bertanggung jawab!"
    "Apa gunanya? Aib ini takkan terhapus sekalipun ada lelaki yang mengaku! Anak itu bukan cuma haram! Dia cacat! Buat apa dia dibiarkan hidup kalau hanya untuk menyiksa kita?"
   "Keterlaluan", desis Dokter Toyib kepada perawatnya setelah orang tua RIndang berlalu. "Kita berjuang untuk menyelamatkan bayi itu. Bukannya berterima kasih mereka malah menggerutu!"
   "Bukan hanya menggerutu, Dok", dumal suster Tiar kesal. "Mereka menyumpahi cucunya sendiri! Berharap agar anak itu mati!"
   "Sekarang mereka pasti sedang memaksa anaknya mengatakan siapa bapak bayi itu!"

* * *

Tetapi Rindang tidak berani mengatakan siapa ayah anaknya. Lagipula....siapa yang percaya?
   Pak Sabdono guru olahraga yang disegani. Terkenal ganteng. Simpatik. Ramah. Tapi tidak genit. Berwibawa. Namun tidak galak.
   Umurnya dua puluh empat tahun. Baru satu setengah tahun menikah. Dan mempunyai  seorang anak perempuan berumur tujuh bulan. Nah, siapa yang percaya? Siapa yang percaya kalau suami dan bapak yang berbahagia itu masih tega menodai muridnya?
   Teman-teman memang tahu Rindang merupakan anak emas Pak Sabdono. Nilai olahraganya selalu delapan, meskipun dia boleh tidak ikut pelajaran olahraga kapan saja dia mau. Tetapi siapa yang tahu betapa intimnya hubungan mereka akhir-akhir ini?
   Di sekolah, sikap Pak Sabdono selalu wajar. Kepada siapa pun dia memang selalu ramah. Bukan hanya kepada Rindang.
   Sebaliknya sikap Rindang pun tidak berlebihan. Dia memang agak manja. Tetapi kemanjaan itu diperlihatkannya kepada semua guru dan teman-teman. Laki-laki ataupun perempuan. Tua ataupun muda.
   Dan Rindang memang punya modal untuk itu. Dia cantik. Pintar pula. Tidak heran kalau dia terpilih menjadi ketua kelas. Dan hubungannya dengan Pak Sabdono tentu saja bertambah dekat.
   Mereka sering terlihat bersama-sama mendekorasi aula kalau ada perayaan di sekolah. Sering bersama pula sebagai panitia bila ada perlombaan olahraga di sekolah.
   Pak Sabdono juga sering mengantarkan RIndang pulang kalau kegiatan itu menyita waktu mereka sampai malam. Dia punya motor. Dan rumah mereka searah. Jadi apa salahnya kalau RIndang membonceng motor gurunya? Tidak ada yang curiga kan?
   "Kamu tidak mungkin hamil", kata Pak Sabdono mantap ketika Rindang akhirnya memberanikan diri untuk mengadu.
   Sudah dua bulan Rindang tidak mendapat haid. Padahal biasanya haidnya selalu lancar. Tidak pernah terlambat datang. Apalagi absen.
   Dan ingatannya kembali ke rumah gurunya. Ketika suatu malam dia diantarkan pulang.
   Malam itu, berbeda dengan malam-malam sebelumnya, Pak Sabdono tidak langsung mengantarkannya pulang. Katanya dia harus menengok rumahnya dulu. Saat itu isterinya tidak ada di rumah karena sedang melahirkan. Jadi dia khawatir kalau ada pencuri masuk ke rumahnya yang kosong.
    Tentu saja itu hanya alasan. Karena sesampainya di rumah, Pak Sabdono itu memeriksa pintu maupun jendela. Dia langsung mengajak Rindang mengobrol di ruang tamu. Dan bertambah malam, obrolan mereka bertambah hangat. Akhirnya bukan hanya kata-katanya saja yang semakin hangat. Belaian tangannya pun semakin hangat.
   Saat itu Rindang merasa sangat bahagia. Dia merasa tersanjung. Merasa dimanja. Merasa dikasihi. Tetapi sekarang...apa tanggapan Pak Sabdono?
   "Kamu tidak mungkin hamil. Kita tidak melakukan apa-apa".
   Rindang jadi bingung. Apa sebenarnya yang harus dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan supaya hamil? Tidak cukupkah seperti apa yang mereka lakukan pada malam itu?
   Mengapa gurunya begitu mantap? Begitu yakin?
   Tapi Pak Sabdono seorang guru. Seorang suami. Seorang Bapak. Dia pasti serba tahu. Pengetahuannya jauh diatas muridnya. Jadi dia pasti benar. Rindang tidak hamil!
   Tetapi...mengapa perut ini kian hari kian membesar juga? Dan menstruasinya tak kunjung datang?
   Pak Sabdono tidak menyuruhnya berobat. Tidak menganjurkannya memeriksakan diri ke dokter. Kelihatannya dia menganggap enteng saja.
   Dia hanya memberikan dua macam obat. Tablet-tablet yang dikatakannya vitamin.
   "Supaya haidmu lancar", katanya tenang.
   Tetapi menjelang bulan kelima, perutnya semakin membuncit. Dan haidnya belum datang juga.
   Rindang semakin gelisah. Dia mulai panik. Bingung menyembunyikan perutnya.
   Di rumah, dia dapat memakai daster longgar. Orantuanya terlalu sibuk untuk memerhatikannya. Ayah dan ibunya sama-sama sibuk berdagang di pasar. Saudara dia tidak punya. Jadi di rumah dia aman.
   Tapi di sekolah? Bagaimana menyembunyikan perutnya dari tatapan curiga gurunya? Teman-temannya?
    Rindang sudah melakukan apa saja untuk mengeluarkan haidnya. Dia melompat-lompat. Mengayuh sepeda. Mencangkul. Memompa. Mengangkat benda-benda berat. Itu semua atas nasihat Pak Sabdono. Tetapi haidnya tidak muncul juga.
   Akhirnya Rindang putus asa. Dia mencari seorang dokter. Yang jauh dari rumah dan sekolahnya. Tentu saja dengan harapan dokter tidak mengenalnya.
   Dan kata-kata dokter itu hampir membuatnya pingsan.
    "Adik hamil", katanya mantap. "Dua puluh empat minggu".
   Hamil! YA Tuhan! Dia mengandung bayi Pak Sabdono! Dan gurunya yang biasanya selalu bersikap ramah dan baik itu pasti tidak mau bertanggung jawab?
   "Kamu tidak mungkin hamil", katanya mantap.
"Kita tidak melakukan apa-apa".
   Jadi tidak mungkin memaksanya untuk mengakui anaknya. Bukankah menurut pendapatnya mereka tidak melakukan apa-apa? Padahal umur kehamilan cocok dengan saat mereka melakukan hubungan intim di rumah Pak Sabdono....
   Dengan panik RIndang memohon agar kandungannya digugurkan. Tetapi dokter itu menolak.
   "Kandunganmu memang kelihatan kecil. Tidak sesuai dengan umur kehamilan. Tapi sudah terlambat untuk digugurkan".
   Sejak itu Rindang tidak berani lagi muncul di sekolah. Dari rumah dia memang pergi setiap hari. Tetapi bukan ke sekolah.
   Kalaupun dia nekat ke sana pagi ini, dia hanya berani menunggu di kejauhan. Mencari kesempatan untuk menemui Pak Sabdono.
   Ketika melihat motornya datang dari kejauhan, Rindang melompat untuk menghadangnya. Tetapi melihat RIndang, Pak Sabdono membelokkan motornya. Dan cepat-cepat memilih jalan lain untuk menghindar.
   Dengan putus asa Rindang mengejarnya dan memanggil-manggil gurunya. Tetapi Pak Sabdono malah makin cepat mamacu motornya. Dia tidak mau menoleh. Apalagi berhenti.
   Seorang pengemudi mobil yang melihat seorang gadis berlari-lari mengejar sebuah motor, sempat memburu Pak Sabdono. Dan memaksanya untuk berhenti.
   "Bapak nabrak anak itu ya?" bentak pengemudi itu jengkel. "Jangan lari! Bapak harus bertanggung jawab!"
   "Dia murid saya!" balas Pak Sabdono sama kesalnya "Tidak usah ikut campur!"
   Ketika mobil itu telah berlalu, baru Pak Sabdono menoleh ke arah Rindang yang sudah tiba di dekatnya dengan napas tersengal-sengal dan keringat bercucuran.
   "Dari mana saja kamu?" tegurnya marah.
   "Bagaimana saya harus ke sekolah dengan membawa perut ini?" balas Rindang separo menangis. "Saya sudah hamil tujuh bulan, Pak! Bapak Jahat! Bapak bilang saya pasti tidak hamil!"
   Karena mereka mulai menarik perhatian orang-orang di jalan kecil itu, terpaksa Pak Sabdono memboncengkan Rindang meninggalkan tempat itu.
   "Orangtuamu belum tahu?" tanya Pak Sabdono datar. Nada suaranya kering. Berbeda sekali dengan dulu. Dulu dia selalu ramah.
   "Bagaimana saya harus memberitahu mereka?"
   "Obat-obat yang saya berikan selalu diminum? Tiap hari?"
   Saat itu barulah Rindang sadar, obat apa yang diberikan Pak Sabdono. Obat itu pasti bukan vitamin!.
   "Bagaimana, Pak?" tangis Rindang ketakutan. "Saya harus berbuat apa?"
   Tapi Pak Sabdono juga sama takutnya. Belum pernah Rindang melihat guru yang sangat dikaguminya itu bersikap seperti ini.
   Sekarang mereka tidak ada bedanya dengan sepasang ikan yang terperangkap dalam jala. Tidak ada guru, tidak ada murid. Tidak ada suami, tidak ada gadis. Tidak ada Bapak, tidak ada anak.
   Mereka sama bingungnya. Sama takutnya. Saat itulah hancurlah respek Rindang terhadap gurunya. Ternyata dia cuma manusia biasa! Tidak ada bedanya dengan dirinya!
   "Bapak punya anak, Dang". suara Pak Sabdono sudah sampai ke nada memohon. Mengiba-iba. "Punya istri. Tidak mungkin mengawinimu. Cobalah mengerti keadaan Bapak".
   Tetapi mengapa hanya aku yang harus mengerti keadaannya, pikir Rindang getir ketika dia sedang melangkah gundah ke sekolah. Tidakkah dia juga harus mengerti kesulitanku?
   Kepala sekolah telah mengirimsurat kepada ayahnya. Rindang sudah sebulan tidak masuk sekolah. Dan ayah sangat marah.
   "Awas kalau kau berani bolos lagi!" geram ayah Rindang gusar "Kuusir kau dari rumah ini!"
   Rindang takut sekali. Diusir dari rumah sungguh malapetaka yang mengerikan! Kemana dia harus pergi?
   Tetapi datang ke sekolah sama menakutkannya. Apa yang harus dijawabnya kalau teman-teman menanyakan perutnya?
   "Besok Bapak bawa kamu ke dokter", bujuk Pak Sabdono kewalahan. Sekedar supaya Rindang mau melepaskannya pergi. Dan tidak membuntutinya lagi. Aduh anak ini benar-benar merepotkan!
   "DOkter tidak mau menggugurkan kandungan saya, PAk" rintih Rindang putus asa. "Katanya kehamilan saya sudah terlalu besar. Buat apa Bapak bawa saya ke dokter lagi?'
  "Bapak punya kenalan", Rindang tidak tahu Pak Sabdono berbohong atau tidak. Apa bedanya lagi? Kalaupun ia berkata benar, Rindang sudah tidak mempercayainya! "Dia pasti bisa menolongmu. Sekarang biarkan Bapak pergi. Jangan mengikuti Bapak lagi. Nanti orang-orang curiga"
  Nanti orang-orang curiga 
  Hanya itu yang penting baginya sekarang. Nama baiknya. Kehormatannya. Keluarganya. yang lain tidak penting! Persetan dengan RIndang! Persetan dengan kehamilannya!
   Begitu Rindang turun dari motornya, cepat-cepat Pak Sabdono kabur ke tempat lain. Supaya mereka tidak terlihat bersama-sama ke sekolah. Kalau perlu, hari ini bolos saja. Tidak usah mengajar. Supaya tidak usah menyaksikan kegaduhan di sekolah....
   Kehamilan Rindang seudah tidak mungkin ditutupi lagi. Teman-temannya pasti tahu. Kepala sekolah tahu. Dan kalau Rindang dipanggil menghadap, Pak Sabdono tidak ingin berrada di sana....
   Dengan sedih Rindang melangkah gontai memasuki gerbang sekolahnya. Hari masih pagi. Tetapi Nidya sudah datang. Sahabatnya yang cerewet itu sudah menunggu di depan kelas. Dan mulutnya pasti tidak bisa disumbat!
   Tiba-tiba saja Rindang merasa perutnya mulas didera rasa takut. Bagaimana menyembunyikan kehamilannya dari mata NIndya yang tajam?
   Tas yang dibekapnya erat-erat di depan perutnya tidak mungkin lagi menyembunyikan perutnya yang sudah membuncit. Sebentar lagi Nindya pasti tahu. Semua orang tahu...dia hamil!
   Bergegas Rindang ke WC. Karena terburu-buru menghindari pandangan Nindya, dia menjadi kurang hati-hati. Tidak melihat lantai yang belum kering bekas dipel. Dia tergelincir dan jatuh terduduk.
   Rasa sakit menikam pinggulnya. Perutnya terasa lebih sakit lagi seperti hendak buang air besar. Pasti akibat rasa takutnya. Pasti....
   Tergopoh-gopoh Rindang merayap bangun. Berdiri dengan limbung dan masuk ke dalam WC.
   Tetapi yang dikeluarkannya di sana benar-benar sesuatu yang di luar dugaaan....darah! Darah!
   Dan bukan itu saja....bukan cuma darah.... 





0 komentar:

Posting Komentar