.quickedit{ display:none; }

Selasa, 03 Mei 2011

Dakwaan Dalam Alam Baka--Mira W Bab VII

JAKARTA 1988

BAB VII

"SUDAH lama sekali kita tidak bertemu ya, Ida?" kata Mahmud ketika mereka sedang melangkah bersama ke mobilnya.
   Mahmud berkeras hendak mengantarkan Farida. Dan Farida harus membuang jauh-jauh pikiran itu. Mahmud menawarkan jasa untuk menyilih rasa bersalahnya.
   "Terakhir melihatmu waktu kamu pulang berlibur. Saat itu kamu masih kuliah di Jakarta. Tahun delapan satu, kalau tidak salah, ya?"
   Tentu saja tidak salah. Kamu pasti masih ingat. Waktu itu kamu sudah hampir menikah dengan gadis lain. Alasannya tepat sekali. Kamu sudah hampir terlambat menikah. Umurmu sudah tiga puluh. Tidak dapat menunggu lagi sampai aku menyelesaikan kuliah. Tetapi tidak ingin menghancurkan masa depanku .Cita-citaku. Karierku. Karena itu kamu terpaksa memilih calon lain.
   "Dia cuma tidak ingin menikahi saya, Bu', kata Farida pahit. "Dia sudah punya calon lain. Yang tidak cacat. Yang tidak memalukan sebagai istrinya".
   Putusnya pertunangan mereka memang memberi aib pada keluarganya. Ayah ibunya merasa sangat malu. Farida juga merasa sedih. Terhina. Tetapi sampai sekarang dia tidak menyesali keputusannya. Kalau untuk mempertahankan harga dirinya dia harus berkorban, dia tidak akan ragu memilih cara itu.
   Dan heran. Ketika bertemu lagi dengan pria yang hampir menjadi suaminya ini, dia malah bersyukur tidak jadi menikah. Kalau dulu dia salah melangkah, barangkali justru sekarang dia menyesali pilihannya.
   "Bapak-Ibu baik, Ida?" tanya Mahmud untuk memecahkan kesunyian. Sejak duduk disampingnya di dalam mobil, Farida lebih banyak membisu. Dan keheningan di antara mereka entah mengapa, membuat Mahmud resah.
   "Baik Bang, Terima kasih". suara Farida begitu tenang. Begitu mantap. Begitu dewasa.
   Dia sudah banyak berubah, pikir Mahmud kagum. Tak ada lagi gadis cacat pendiam dan rendah diri itu. Dia kini tampil penuh percaya diri sebagai seorang sarjana hukum yang disegani.
   "Istri Abang juga sehat? Kapan-kapan saya ingin berkenalan". Nada suara Farida begitu wajar. Tidak ada nada cemburu. Tidak ada maksud ingin tahu seperti apa perempuan yang telah menyingkirkannya.
   "Oh, dia pasti senang sekali! Kalau ketemu koran, yang dicarinya pasti perkara LInda Ramelan! Kamu tahu tidak, Pak Sabdono itu kan bekas gurunya di Surabaya!"
   "Di Surabaya?" bergetar suara Farida. "Dia pernah mengajar disana?"
   "katanya sebelum mengajar di Jakarta".
   "saya ingin sekali bertemu istri Abang", cetus Farida bersemangat. "bagaimana kalau sekarang? Dia ada di rumah?"

***

Yuniarti lumayan cantik. Tubuhnya ramping. Tinggi semampai. Rambutnya yang hitam, ikal berombak, tergerai sampai sebatas bahu. Sekali lihat, penampilannya mirip Farida. Bedanya, dia tidak cacat.
   Yuniarti begitu terkesan melihat Farida. Dan dengan perasaan heran Farida melihat bagaimana bangganya Mahmud ketika memperkenalkan tamunya.
   "Jaksa yang menuntut Pak Sabdono", kata Mahmud tanpa menyembunyikan perasaan bangganya, berhasil membawa figur terkenal itu ke rumah mereka. "Yang berhasil menjebloskan gurumu ke penjara!"
   "Saya sampai tidak percaya Pak Sabdono sebejat itu", keluh Yuniarti terus terang. "Dia sama sekali tidak genit! Tidak berbahaya. Tampangnya sih oke. Tapi waktu itu pun dia sudah menikah. Sudah punya anak. Sudah tidak menarik lagi".
   "Tidak tahu mengapa Pak Sabdono pindah?"
   "Sampai saya lulus, dia masih mengajar di SMA itu. Adik saya malah sempat jadi muridnya".
   "Di mana adik Kak Yun sekarang? Saya boleh minta alamat rumahnya?"
   "Ada apa sebenarnya?" sergah Yuniarti bingung "Perkaranya telah selesai, kan? Pak Sabdono telah dihukum tujuh bulan?"
   "Dia mengajukan banding. Saya ingin menyelidiki masa lalunya".
   "Jangan libatkan YUnisar!" potong Mahmud tegas. "Dia sudah menikah. Suaminya orang terpandang. Mereka pasti tidak mau terlibat perkara seperti ini!"
   "Saya hanya ingin mencari keterangan tentang Pak Sabdono", sahut Farida sama tegasnya. "Bukan tentang mereka".

0 komentar:

Posting Komentar