.quickedit{ display:none; }

Jumat, 06 Mei 2011

Dakwaan Dalam Alam Baka--Mira W Bab XIV

BERKAT permintaan Pak Hans, Pak AHmad bersedia memberikan ujian perbaikan. Dan seperti yang telah diduga, Farida lulus dengan hasil gemilang.
   "Untung kamu tidak memalukan saya", Pak Hans tertawa riang. "Saya bangga padamu, Ida".
   "TErima kasih, Pak. Semua berkat jasa Bapak".
   "Kamu tahu saya bilang apa pada Pak Ahmad?"
   Farida menggeleng
   "BEri Farida kesempatan sekali lagi. Kalau kali ini dia gagal juga, saya yang akan menyuruhnya DO. Biar dia jadi desainer saja".
   Pak Hans tertawa lebar. Farida tersenyum penuh terima kasih. Dosennya yang satu ini memang baik sekali. Penuh perhatian dan suka menolong. Biarpun repot, dia selalu ada waktu untuk membantu mahasiswanya.
   "Dan ternyata kamu memang bisa dipercaya. Kamu lulus dalam ujian saya dan ujian Pak Ahmad. Pasti ada yang sangat kecewa".
   "Siapa, Pak?"
   "Bekas guru jahitmu!"
   "Ah". Farida menunduk tersipu. Parasnya memerah. Tetapi matanya berbinar. Dan entah mengapa akhir-akhir ini Pak Hans keranjingan sekali melihat pemandangan seperti itu.
   "Kamu masih harus meneruskan usaha jahitmu?"
   "Itu nafkah saya, PAk".
   "Saya mengerti. Kamu memang gadis hebat. Bisa membiayai sendiri hidup dan kuliahmu. Saya yakin kamu akan menjadi seorang sarjana hukum yang disegani. Tapi saya tidak mau dengar kamu gagal lagi karena masalah laki-laki".
   "Saya janji, Pak".
   "Oke. Sekarang saya akan membayar janji saya".
   "Janji apa, pak?"
   "Mengajakmu makan sate pak Kumis kalau kamu lulus ujian!"
   Hati Farida berdegup gembira. Tapi sekaligus berdebar cemas
   "Ibu tidak marah, Pak?"
   "Kenapa Ibu harus marah?"
   "Bapak makan dengan saya".
   "Ibu tidak ada dirumah. Dia tidak tahu saya makan dengan siapa".
   "Tapi kalau ada yang menyampaikan..."
   "Apa salahnya kita makan bersama? Kita makan di pinggir jalan. Bukan didalam kamar atau kafe remang-remang".
   "Saya tidak mau rumah tangga Bapak..."
   "Rumah tangga saya memang sudah berantakan".
   Farida menatap dosennya dengan getir. Sebaliknya Pak Hans membalas tatapannya dengan tenang.
   "Sudah lama tidak ada persesuaian paham diantara kami".
   "Tapi kenapa, Pak? Apa yang kurang dalam diri Ibu? Ibu cantik. Terkenal. Pintar...".
   "SAya mendambakan istri yang selalu ada dirumah. Menunggu suami pulang kerja. Saya merindukan anak. Dua hal itu yang tidak dapat diberikan Mona".
   "Maksud Bapak..." Mata Farida menatap cemas. "Ibu tidak bisa hamil?"
   "Dia bisa. Tapi tidak mau".
   "Tidak mau?" Dimana ada perempuan yang tidak mau hamil? Bukankah itu kodrat seorang wanita?
   "Dia takut tubuhnya tidak indah lagi setelah melahirkan." Ketika mengucapkan kata-kata itu, wajah Pak Hans mengerut seperti menahan sakit. "Dia tidak tahu. Ibu saya bahkan mengorbankan nyawanya ketika melahirkan saya".
   Farida tidak menyangka rumah tangga dosen favoritnya punya masalah segawat itu. Diluar dia tampak selalu tenang. Selalu cerah. Tapi di dalam...
   Dia juga tidak menyangka Pak hans mau menceritakan masalah pribadinya kepada seorang mahasiswi. Dan lebih tidak menyangka lagi, Pak Hans memilih mahasiswinya yang cacat untuk menemaninya dalam kesepian.
   Ketika suatu siang mereka sedang makan gado-gado di pasar, seorang tukang koran menawarkan majalah. Pak Hans mengambil majalah itu. Dan menunjukkan gambar sampul di depannya.
   "Mona", katanya sambil tersenyump ahit. "Sudah tidak muda lagi, kan? Umur tiga tujuh".
   "Tapi masih cantik!" puji Farida tulus. "Saya sangat mengagumi kecantikan ibu, pak!"
   "Aneh, wanita mengagumi kecantikan wanita lain", Pak Hans tersenyum pahit. Dia memberikan selembar uang kepada tukang koran itu. Dan membiarkan Farida memandangi gambar istrinya sepuas-puasnya.
   "Mengagumi kecantikan wanita kan bukan monopoli kaum pria saja,Pak!"
   "Tidak iri?"
   "Kalau saya sih tidak. Gadis cacat seperti saya tidak mungkin bersaing. Jadi buat apa iri? Semua sudah anugerah Tuhan yang harus kita syukuri".
   "Di sanalah letak kecantikanmu, Ida", kata Pak Hans kagum. "Kecantikan budi".
   "Ah", paras Farida memerah. Dia tunduk tersipu dengan mata berbinar. "Bapak pintar memuji".
   "Saya mengatakan yang sebenarnya".
   "Bapak belum kenal saya".
   "Kamu berbeda dengan teman-temanmu".
   "Sejak lahir saya memang telah ditakdirkan berbeda, Pak. Tapi kata ayah saya, jika Tuhan memberikan kekurangan. Dia pasti memberikan kelebihan".
   "Itu yan gmembuatmu menarik".
   "Tidak ada yang tertarik pada saya", Farida tersenyum pahit. "Bahkan seorang pria buta mencampakkan saya setelah melihat cacat saya".
   "Saya dengar Sultan naksir kamu"
   "Dia cuma kasihan. Saya tidak mau dikasihani".
   "Itu namanya harga diri, Ida. Kami memang harus punya harga diri, biar pun cacat. Tapi jangan sampai harga dirimu terlalu tinggi sampai kamu menolak semua laki-laki yang mendekatimu".

***

Semalaman Farida memikirkan kata-kata dosennya .Akhir-akhiri ini hubungan mereka memang semakin erat. Begitu eratnya sampai menimbulkan gosip yang tidak sedap
   Jangan sampai harga dirimu terlalu tinggi sampai kamu menolak semua laki-laki yang mendekatimu.
   Siapa laki-laki yang dimaksud Pak Hans? Sultan? Atau...dia sendiri?
   Rumah tangganya sedang gonjang-ganjing. Kata Endang malah sudah ditepi jurang perceraian. Ah, sungguh mengerikan.
   Dan akhir-akhir ini Farida sering sekali berada bersama dosennya. Bukan di kampus. Tapi dirumahnya. Kadang-kadang di tempat makan.
   Mereka sering berdiskusi. Bertukar pikiran. Saling menghibur. Saling menasehati. Saling mengagumi. Tapi tidak lebih dari itu. Baik Pak Hans maupun Farida menjaga baik-baik batas yang tak boleh mereka langkahi. Tetapi Iin punya pendapat lain.
   "Tadi malam aku lihat mereka di TIM!"
   "Tidak mungkin!" bantah Endang, gigih seperti biasa dalam membela sahabatnya. "Aku kan teman sekamarnya! Aku yang paling tahu kalau ranjang disebelahku kosong!"
   "Ah, siapa bilang? Kamu kan kalau tidur kayak bangkai! Ada gempa juga kamu tidak bangun!"
   "Pokoknya semalam Ida tidak kemana-mana! Dia sibuk bikin pola di kamar!"
   "Bohong! Tadi malam aku lihat dia sama Pak Hans di TIM! Masa ada dua gadis buntung yang mukanya sama kaya dia?"
   "Matamu sudah harus diganjal kaca! Kebanyakan nonton BF sih!"
   "Sudah, Dang. Kita pulang saja yuk", ajak Farida sabar. "Buat apa sih ribut-ribut?"
   "Katanya kamu ingin jadi sarjana hukum untuk membela orang yang tidak bersalah. Sekarang kamu sendiri dituduh orang seenaknya kok diam saja? Mana bisa membela orang lain kalau bela diri sendiri saja tidak mampu?"
   "Dia tidak menuduh", sahut Farida tenang. "Dia cuma tanya, tadi malam kamu pergi sama Pak Hans? Aku bilang tidak. Selesai kan?"
   "Tapi mereka tidak percaya!"
   "Peduli apa? Mereka bukan istrinya".
   "Kalau istrinya dengar? Katanya mereka sudah di ambang perceraian".
   "Mereka sudah renggang sebelum aku muncul".
   "Tapi kamu yang jadi kambing hitam!"
   "Orang seperti aku?" Farida tersenyum pahit sambil melangkah keluar dari ruang kuliah. "Yang benar saja, Dang! Pak Hans begitu ganteng. JIka dia bosan pada istrinya , dia bisa mencari gadis yang sama cantiknya. Bukan yang cacat seperti aku!"
   "Iya juga sih", komentar Rita yang mendengar kata-kata Farida pada Endang. "Pak Hans kan masih waras! Masa dia mau sama si Ida?"
   "Kalau tiap hari bersama, bukan tidak mungkin suatu hari Pak Hans jatuh cinta!" bantah Iin judes.
   "Jangan khawatir", Farida menoleh ke belakang dan menatap Iin dengan santai. "Aku tidak akan pernah menjadi musuh kaumku sendiri. Itu prinsipku".
   Tetapi gosip tentang hubungan mereka tidak mereda, malah bertambah santer. Endang malah mendengar desas-desus. Pak Hans sudah di panggil menghadap rektor. Barangkali Rektor bertanya tentang kebenaran desas-desus yang didengarnya.
   Farida memang tidak dipanggil. Tetapi dua bulan kemudian, Pak Hans Walian berangkat ke Belanda untuk melanjutkan studi.
   Pak Hans tidak mengatakan alasan sebenarnya dia mendadak meninggalkan kampus. Dalam pertemuannya yang terakhir dengan Farida, dia hanya mengatakan ingin berpisah sementara dengan istrinya.
   "Supaya kami masing-masing bisa instropeksi", katanya muram ketika mereka sedang makan sate di warung Pak Kumis. "Dengan berpisah, kami juga bisa mengukur sisa cinta kami. Apakah kami masih saling membutuhkan atau hubungan kami sudah sampai di titik nol".
   "Bukan karena saya?", tanya Farida sama murungnya. "Saya dengar desas-desus hubungan kita sudah sampai ke meja Rektor".
   "Tidak ada yang menyalahkan kamu", hibur Pak Hans tegas. "Jangan terpengaruh. Kamu harus tetap tegar. Belajar yang giat supaya bisa meraih cita-citamu. Kalau saya pulang nanti, saya ingin kamu sudah menyandang gelar sarjana hukum".
   "Saya merasa Bapak sengaja menyingkir untuk saya".
   "Saya menyingkir karena istri saya. Karena saya belum ingin buru-buru bercerai".
   "Bapak tidak pandai berdusta" Farida menatap dosennya dengan sedih. "Bapak hanya tidak mau menghancurkan studi saya".
   "Kalau begitu jangan sia-sia kan pengorbanan saya", desah Pak Hans lirih. "Ingat janjimu waktu kamu gagal ujian dulu?"
   Farida mengangguk lemah.
   "Saya tidak mau dengar kamu gagal lagi karena masalah laki-laki".

***


Pak Hans masih sering menulis surat dari Belanda. Farida tidak pernah membalasnya. Dia khawatir tidak dapat menyimpan rahasia hatinya lagi. Tetapi tujuh lembar surat dari Pak Hans di simpannya baik-baik.
   Ketika Pak Hans bercerai dengan istrinya, Farida tidak tahu. Karena setelah satu tahun berpisah, suratnya tidak datang lagi.
   Meskipun sedih, Farida menahan perasaannya. Menyimpan kesedihannya seorang diri. Bahkan Endang sahabatnya yang terbaik, tidak mengetahuinya. Dia tidak tahu mengapa setiap hari Farida melongok kotak suratnya. Padahal surat siapa yang diharapkannya? Surat dari orangtuanya hanya datang sebulan sekali.
   Farida memang tidak pernah membalas surat Pak Hans. Dia tidak ingin kehadirannya di hati laki-laki itu menjadi ganjalan hubungannya dengan istrinya. Farida sadar, hubungan Pak Hans dan istrinya sedang berada di tiitk yang paling kritis. Karena itu Farida sengaja menjauhkan diri.
   Tetapi tidak membalas surat bukan berarti tidak mengharapkan surat dari Pak Hans. Dan setelah suratnya tidak pernah datang lagi, Farida menyimpan surat laki-laki itu seperti jimat. Dia membacanya setiap kali ada kesempatan. Setiap kali dia merasa rindu. Dan setiap kali menghadapi ujian.
   Saya tidak mau dengar kamu gagal lagi karena masalah laki-laki.Farida di wisuda. Saat itu baru Farida tahu dia sudah bercerai. Karena saat itu dia datang seorang diri.
   Senyumnya masih sekeren dulu. Tatapannya masih selembut ketika pertama kali Pak Hans menatapnya di ruang kuliah. Hampir tak ada perubahan pada penampilan fisiknya. Dia masih tampak seganteng dulu, ketika menjadi dosen favorit yang dikagumi mahasiswi-mahasiswinya.
   "selamat Ida", ketika mengucapkan kata-kata itu, Farida melihat mata Pak Hans berpendar antara bahagia dan haru. "Kamu menepati janjimu. Menyandang gelar sarjana hukum pada saat saya kembali".
   "Terima kasih, Pak", gumam Farida dengan mata berkaca-kaca. Suaranya bergetar menahan kerinduan. Dadanya berdebar hangat dibelai kebahagian. Akhinrya mereka bertemu kembali. Akhirnya dia dapat melihat lagi satu-satunya lelaki yang pernah dicintainya! Dan dia justru muncul pada saat yang paling membahagiakan dalam hidupnya. "Mana ibu, pak?"
   Pak Hans hanya tersenyum pahit.
   "akhirnya kamu berhasil meraih cita-citamu", katanya seperti mengelak. "saya bangga padamu, Ida".
   "semuanya berkat jerih payah dosen-dosen yang mendidik saya". sahut Farida tulus. "Jasa bapak takkan pernah saya lupakan".
   "Masih sempatkah kita berdiskusi sambil makan sate sesudah kamu jadi sarjana hukum?" gurau Pak Hans sambil menyeringai menggoda. "Kamu masih mau menemani saya makan di pinggir jalan?"
   "Tidak ada yang berubah, Pak". Sesudah mengucapkan kata-kata itu mendadak Farida menyesal. Dia takut Pak Hans salah sangka. Karena itu cepat-cepat disambungnya. "Saya akan sering-sering mengunjungi bapak dan ibu di rumah. Saya masih ingat kok rumah bapak".
   "saya sudah tidak tinggal di sana lagi".
   Farida tertegun. Ditatapnya dosennya dengan bingung.
   Sekali lagi senyum pahit itu bermain di bibirnya.
   "Kami telah bercerai".
   "Pak!" cetus Farida kaget. "Apa sudah tidak ada jalan lain?"
   "setelah berpisah, kami semakin y
akin, perkawinan itu sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Lebih baik kami berpisah sebelum ada anak".
   "Saya menyesal mendengarnya, Pak", ketika mengucapkan kata-kata itu, airmata Farida berlinang lagi. Hatinya terasa sakit. Benar-benar nyeri. Dia seperti dapat merasakan penderitaan Pak Hans. Tapi...benarkah dia menderita? Benarkah perceraian itu membuatnya sedih...bukan lega?
   "Mudah-mudahan masih ada jalan untuk rujuk, Pak. Saya minta Bapak dan Ibu saling mencintai".
   Senyum Pak Hans mengembang lebih lebar.
   "Dari mana kamu tahu?"
   "Kalau tidak cinta, bapak tidak akan menikah kan?"
   "Waktu itu saya hanya terpikat pada kecantikannya".
   "tidak salah. Tapi kalau bapak tidak mencintainya, mustahil ada pernikahan".
   "saya tidak tahu, benarkah itu cinta. Atau cuma kekaguman belaka".
   "Saya yakin,Pak. Dan saya yakin ketidakcocokan bapak dan ibu cuma karena profesi".
   "Rasanya kamu cocok jadi pengacara perceraian".
   "Saya memilih menjadi pembela kaum saya yang tersiksa. Perempuan miskin yang tertindas karena buta hukum dan yang tidak mampu membayar pengacara".
   "Atau penuntut umum yang menyeret orang yang menganiaya wanita ke depan meja hijau?" Pak Hans tersenyum pahit. "Tapi jang harapkan imbalan yang tinggi!"
   "Kalau boleh usul, Pak, mengapa bapak tidak mencoba mendekati ibu lagi?" Farida kembali ke topik semulan.
   "RAsanya sudah terlambat", sahut Pak Hans jemu.
   "Kadang-kadang cinta lebih terasa sesudah berpisah, Pak". Sesudah mengucapkan kata-kata itu, Farida menggigit bibirnya kuat-kuat. Dia sudah kelepasan bicara lagi. Nanti Pak Hans salah paham. Mengapa hati ini seperti lancang mengungkapkan apa yang dirasakannya?
   "Bagaimana kalau sudah berpisah saya malah tidak merindukannya?" balas Pak Hans lesu.
   "Cobalah sekali lagi, Pak! Bawa ibu ke tempat yang punya kenangan manis. Kalau perlu, ajak ibu ke Belanda! Seperti pacaran lagi, pak".
   "Ida!" panggil Endang yang sedang tergopoh-gopoh mendatangi. "Lekas! Acaranya hampir mulai!" Dan matanya terbeliak lebar melihat bekas dosennya. "Eh, Pak Hans! Kapan datang, Pak? Waduh, Bapak tambah keren saja nih!"
   "Baru kemarin", sahut Pak Hans sambil tersenyum cerah. Semua bekas-bekas kemuraman lenyap seketika dari parasnya. "Khusus untuk melihat mahasiswi-mahasiswi terbaik saya di wisuda".
   "Terima kasih, Pak!" Endang tertawa gembira. "Tapi lulusan terbaik si Ida ini, PAk! Dia benar-benar tidak mengecewakan dosen-dosennya!"
   "DAn membuat saya bangga", sambung Pak Hans tulus.
   "Mari masuk, Pak. Acaranya hampir mulai. Ida harus memberikan kata sambutan".
   "Permisi dulu, Pak", kata Farida sambil memutar tubuhnya.
   "Ida", panggil Pak Hans lembut ketika Farida hampir berlalu.
   Endang juga mendengar panggilan itu. Dan dia merasa heran mendengar lembutnya suara Pak Hans. Rasanya itu bukan panggilan seorang dosen lagi. Tapi dia tidak mau menoleh. Dan tidak mau berhenti melangkah.
   Hanya Farida yang menoleh. Dan tatapannya bertemu dengan tatapan Pak Hans yang hangat dan lembut.
   Saat itu Farida terkenang pada pertemuan mereka yang pertama di ruang kuliah. Saat itulah mata mereka bertemu untuk pertama kalinya. Dan sekarang Farida sadar, saat itu juga sebenarnya dia sudah jatuh cinta.
   "TErima kasih atas nasihatmu. Akan saya pertimbangkan lagi".
   "Mudah-mudahan Bapak berhasil membina kembali rumah tangga yang bahagia", tukas Farida tulus walaupun hatinya terasa nyeri.
   Ketika sedang melangkah tertatih-tatih akibat libatan kain yang cukup ketat di balik toga hitamnya, tak henti-hentinya Farida bertanya kepada dirinya sendiri.
   Mengapa sanggup berkata begitu? Inikah cinta yang sesungguhnya? Cinta yang tidak ingin memiliki orang yang kucintai untuk diriku sendiri? Cinta yang hanya memikirkan kebagaian orang yang kucintai, meskipun aku terpaksa harus memendam rindu seumur hidup?


***


"Kepada orangtua kami dan para dosen yang telah mendukung kami meraih cita-cita", suara Farida terdengar lirih di akhir kata sambutannya. "perkenankanlah kami menghaturkan terima kasih. Jasa Bapak dan ibu tak mungkin terlupakan. Kami hanya dapat membalasnya dengan berjanji, kami akan menjadi abdi hukum yang menjunjung tinggi keadilan".
   Tepuk tangan bergemuruh dari seluruh ruangan. Kilat blitz menyala dari sana-sini.
   "contoh terbaik yang harus diteladani oleh para penyandang cacat", kata rektor dalam kata sambutannya. "Dia yang tidak punya lengan sejak lahir, mampu membiayai sendiri kuliahnya, bahkan berhasil lulus dengan nilai terbaik".
   Di deretan kursi terdepan, ayah Farida menyusut airmatanya. Istrinya menggenggam tangannya dengan terharu.
   Akhirnya perjuangan mereka tidak sia-sia. Anak sulung mereka berhasil meraih gelar sarjana .
   Rasanya masih terbayang jelas bayi mengenaskan tanpa lengan itu. Tergolek tak berdaya mengharapkan belas kasihan siapa pun yang melihatnya.
   Masih terbayang jelas anak perempuan kecil yang pulang sambil menangis karena diejek anak-anak lain. Anak perempuan yang bahkan tidak berani melihat cermin.
   Anak yang ditolak masuk sekolah umum karena tidak punya lengan.
   "Dengan apa dia mau menulis?" kata kepala sekolah itu sedih.
   Ayah Farida membawa anaknya pulang dengan sebongkah tekad di hatinya.
   Kamu pasti bisa menulis, Ida. Kalau bukan dengan tangan, pasti dengan mulut! Atau dengan kaki!.
   Dan kini anak itu tegak di depan sana. Mengenakan toga hitam seorang sarjana, yang bahkan orang tidak cacat pun belum tentu mampu memakainya!.


***


Farida tidak pulang bersama orang tuanya karena masih banyak yang harus dikerjakannya di kampus. Sebagai wakil para wisudawan, dia direpotkan oleh berbagai masalah yang setelah acara wisuda.
   Lama sesudah teman-temannya meninggalkan kampus, Farida baru bisa pulang. Dan selagi dia melangkah keluar dari gerbang kampus, sebuah motor lewat dan berhenti di sampingnya.
   "Pulang?" tanya Sultan dengan seuntai senyum ramah tersungging di bibirnya. "Mau kuantarkan?"
   Sesaat Farida tertegun. Ingat masa-masa kuliahnya dulu, ketika Sultan selalu mengajukan pertanyaan yan sama.
   "Terima kasih", Farida tersenyum lugu
   "Apa artinya terima kasihmu itu? Mau ikut atau tidak?"
   "terima kasih untuk ajakannya".
   "Aku bersedia menerima terima kasih yang kedua".
   "Untuk apa?"
   "mengantarkanmu pulang".
   "Tidak usah. Terima kasih".
   "Aku harus menunggu terima kasihmu yang ketiga?"
   Farida tertawa lunak mendengar rentetan jawaban yang sam itu. Sultan ikut tertawa gelak-gelak.
   "Kamu masih tetap tidak berubah, Ida!"
   "Haruskah saya berubah?"
   "Jangan. Dunia akan menangis kalau kamu berubah!"
   "Kalau begitu mengapa masih mengajak saya pulang?"
   "Karena sekarang kita teman seprofesi. Dan aku ingin menawarkan pekerjaan padamu".
   "Di tempat kak Sultan bekerja?"
   "Di mana lagi? Tempat yang sesuai dengan angan-anganmu. Menolong orang-orang buta hukum yang tidak mampu membayar mahal seorang pengacara".
   "Terima kasih untuk tawarannya, Kak. Tapi apa tempat kerja Kak Sultan mau menerima sarjana hukum yang cacat seperti saya?"
   "Kenapa tidak kamu tanyakan sendiri?"
   "KAk Sultan mau mengajak saya ke sana?"
   "Kalau kamu tidak repot. Dan mau ku boncengi motor".
   Farida tersenyum.
   "Kapan?"
   "Besok? Jahitanmu bisa menunggu?"


***


Ketika Farida sedang menjahit malam itu, Endang duduk di dekatnya. Begitu dia duduk, Farida sudah merasa, ada sesuatu yang ingin ditanyakannya. Sesuatu yang serius. Yang tidak biasa.
   "Kamu naksir Pak Hans, Da?" tanya Endang langsung ke sasaran.
   Farida tersenyum pahit.
   "Siapa sih yang nggak naksir dosen seganteng dia? Kamu sendiri juga, kan?"
   "Aku serius, Da. Kulihat caramu bicara dengan dia tadi. Dan aku merasa, sikapmu terhadapnya berbeda dengan sikapmu pada Sultan".
   "tentu saja. Yang satu dosen. Yang satu kakak tingkat!"
   "Kamu tahu persis maksudku!"
   "Tidak. Aku tidak mengerti".
   "Pak Hans sudah bercerai. Jika kalian serius, tidak ada yang menyalahkanmu".
   "Memangnya siapa aku ini, Dang?" Farida tertawa dibuat-buat. "GAdis buntung yang mengharapkan cinta seorang pria seganteng Pak Hans? Seperti pungguk merindukan bulan!"
   "Cinta itu buta, Da! Kadang-kadang tuli, sekaligus gila!"
   "Itu cinta yang irasional".
   "Mana ada cinta yang rasional? Memangnya matematik? Cinta itu tidak pakai logika, Da! BIsa saja lelaki secakep Pak Hans jatuh cinta padamu!"
   "Itu namanya kelainan".
   "Karena lain cinta jadi terasa lebih indah, kan?"
   "Ah, itu cuma pendapatmu! DEwi cinta yang kesasar!"
   "Kamu terlalu lugu, Da. Tapi aku lebih pengalaman. aku bisa merasakan kalau orang sedang jatuh cinta dengan hanya melihatnya saja!"
"Tahu! kamu punya bakat paranormal"
   "Tapi kalau boleh usul, aku lebih suka kamu memilih Sultan".
   "Karena dia lebih sesuai untukku?"
   "Kalian lebih cocok. Sultan masih muda. Belum nikah..."
   Dan tidak setampan Pak Hans! Farida tersenyum pedih. Bahkan sahabat karibnya memandang rendah padanya! Tapi...memandang rendahkah berkata jujur? Mungkin Endang yang benar. Sultan lebih cocock untuknya. Kalau dia mencintainya...
   "Mana mau dia pacaran sama gadis cacat macam aku, Dan? Dia kan sempurna. Pria yang tadinya buta saja mencampakkanku begitu bisa melihat!"
   "Itu kan dulu!"
   "Apa bedanya? Sampai sekargan aku masih tetap buntung!"
   "Sekarang kamu sarjana hukum!"
   "Pria ingin menikah dengan seorang wanita, Dang! Bukan dengan sarjana hukum!"
   "Tapi Sultan beda!"
   "Kenapa sih kamu ngotot sekali menjodohkan aku dengan Kak Sultan?"
   "Karena aku tahu dia sudah lama naksir kamu?"
   Tapi aku tidak pernah mencintainya, pikir Farida resah. Jika hatiku pernah merekah sekuntum cinta, kuntum itu bukan untuk Sultan!



0 komentar:

Posting Komentar