.quickedit{ display:none; }

Selasa, 03 Mei 2011

Dakwaan Dari Alam Baka--Mira W Bab VI

HANYA sebelun sebelum pernikahan mereka, Mahmud tiba-tiba membatalkannya.
   "Dia ke jakarta untuk.   mengoperasi matanya", kata ibunya setelah berulang-ulang minta maaf. "Mahmud mendapat panggilan mendadak. Kornea donor dari Srilangka telah tiba. Kalau Mahmud menolak entah berapa lama lagi dia harus menunggu".
   Tetapi ternyata pernikahan mereka bukan hanya ditunda. Begitu memperoleh penglihatannya kembali, meskipun hanya sebelah, Mahmud segera dapat membedakan Farida dan Winda. Dan dia mulai memilih.
   "Kalau harus menikah juga, lebih baik dengan adiknya, Bu" kata Mahmud setelah hampir setengah tahun pernikahan mereka ditunda dan ibunya mendesak terus "Saya merasa lebih cocok". 
   "Bagaimana kau ini!" gerutu ibunya jengkel. "Sengaja membuat Ibu malu? Yang ibu lamarkan Farida! Bagaimana kau mau menikah dengan adiknya!"
    "Tapi Winda lebih menarik, Bu".
   "Gadis itu masih kekanak-kanakan! Belum dewasa!"
   "Tapi saya lebih tertarik padanya. Cobalah Ibu bicarakan dengan mereka...".
   "Tidak! Mau ditaruh dimana muka Ibu?"
   "saya rasa mereka juga mengerti, Bu..."
   "Apanya yang mengerti? Kau kira perempuan itu barang? Sudah diambil dapat ditukar lagi?"
   "Belum diambil, Bu. Baru ditawar!"
   "Tapi sudah Ibu lamar!"
   "Buat apa saya dipaksa menikahinya kalau kemudian saya ingin menceraikannya lagi?"
   "Farida itu gadis baik. Berpendidikan. Sopan. Keturunan orang baik-baik pula..."
   "Tapi dia cacat!"
   "Dari dulu kau tahu dia cacat!"
   "Tapi dulu saya tidak melihatnya!"
   "Ibu sudah melihatnya. Dan ibu tetap mengaguminya walaupun dia cacat".
   "Tapi yang mau kawin kan saya, bukan ibu!"


***


Ketika Mahmud datang kembali enam bulan sesudah pernikahan mereka ditunda. Farida sadar, perkawinan itu bukan hanya ditunda. Tapi sudah hampir dibatalkan.
   Walaupun Mahmud tidak berkata apa-apa dan dia bersikap sangat sopan, Farida dapat merasakan keengganan calon suaminya untuk mengambilnya sebagai istri.
   Caranya menatap dirinya sangatlah menyakitkan. Benar Mahmud tidak memandangnya dengan jijik. Tatapannya pun lebih banyak diliputi perasaan iba daripada menghina. Tetapi ditatap seperti itu oleh orang yang hampir menjadi suaminya, justru membuat Farida tambah merasa direndahkan.
   Dan meskipun hatinya sakit, harga dirinya terlukai, Farida tidak mau memperpanjang penderitaan mereka.
   Untuk apa menanti sebuah kepalsuan? Kalaupun Mahmud terpaksa menikahinya, berapa lama mereka mampu mempertahankannya?
   "Bagaimana matanya, Nak Mahmud?" tanya ibu Farida, pasti sebagai pembuka jalan untuk mengajukan pertanyaan berikutnya. Pertanyaan yang telah enam bulan mengganjal dibenaknya.
   "Lumayan, Bu", cepat-cepat disambungnya kata-katanya seolah-olah terlambat. "Tapi saya masih harus sering bolak-balik ke Jakarta untuk kontrol".
   Itu tentu alasan untuk menunda lagi pernikahan mereka.
   Mengapa tidak berterus terang saja? Untuk apa semua kepura-puraan ini?
   Katakan saja kamu tidak mau menikahi calon istrimu karena dia cacat, desah Farida dalam hati. Karena setelah dapat melihat, kamu merasa tidak sepadan. Kamu merasa dapt memilih istri yang lebih sempurna. Yang tidak cacat! Tidak buntung!.
   Farida tidak ingin memperlihatkan air matanya walaupn hatinya terasa sangat sakit. Dia tidak ingin dikasihani. Oleh siapapun. Apalagi oleh laki-laki seperti Mahmud!
   Tetapi bagaimana menahan butir-butir airmata yang sudah hampir menjebol keluar ini? Lebih-lebih ibu tampaknya belum ingin menyudahi pembicaraan mereka. Ibu masih mendesak Mahmud menentukan hari pernikahannya.
   "Maafkan saya, Bu", jawab Mahmud sopan tapi menyakitkan. "Bukannya saya ingin menunda-nunda terus pernikahan kami. Tapi saya harus mendahulukan yang terpenting. Mata ini sangat penting untuk masa depan saya".
   "Ibu tahu. Tapi kalau cuma untuk kontrol, kan bisa dilakukan sesudah menikah?"
   "Benar, Bu. Tapi saya belum ingin menikah sebelum mata saya benar-benar sembuh. Ida kan masih muda. Saya kira dia tidak keberatan menunggu setahun lagi. Bukan begitu, Ida?"
   Mahmud menoleh sambil tersenyum kaku ke arah Farida. Dan dimata yang hanya sebelah itu Farida dapat membaca keengganan yang tersirat dibaliknya.
   Tiba-tiba saja Farida merasa sangat tersinggung. Begitu rendahkah harga diri seorang wanita cacat sampai seorang laki-laki di desak-desak begitu rupa untuk menikahinya?


***


   "Dia sudah tidak menginginkan pernikahan kami, Bu", kata Farida terus terang ketika Mahmud telah meninggalkan rumah mereka. "Dia hanya tidak sampai hati mengatakannya".
   "Biar Faisal menjotos matanya yang cuma satu itu, Kak", geram Faisal sengit. "Sukur-sukur kalau dia buta lagi!".
   "Kalau dia berani datang lagi, Winda siram mukanya pakai air comberan!" sambung Winda sama gemasnya "Baru juga melek, sudah berani colak-colek!"
   Winda memang pantas geram. Sesudah memperlakukan kakaknya seperti penjual barang tidak laku, sebelum pulang Mahmud berani mencolek pipinya. Tentu saja saat tidak ada yang melihat. Kurang ajar!
   Dia dan Faisal tahu sekali apa alasan Mahmud menunda perkawinannya. Dan mereka trenyuh sekali melihat penderitaan kakak sulungnya. Mereka bisa merasakan penghinaan yang dialami Farida.
   "Tidak perlu", sahut Farida tawar. "Setiap orang berhak menikah dengan pasangan yang dipilihnya sendiri. Kita tidak bisa memaksa Bang Mahmud menikahi saya kalau memang dia tidak mau".
   "Tapi kamu sudah dilamar, Ida! "sela Ibu murung. "Mau ditaruh di mana muka kita? Semua tetangga dan handai tolan sudah tahu kamu akan menjadi istri Mahmud!"
   "Kalau Bapak dan Ibu mengizinkan, saya ingin membatalkan pernikahan ini", cetus Farida tegas.
   "Tidak mungkin!" sergah ayahnya terperanjat. "Bagaimana dapat membatalkan pernikahanmu tanpa alasan yang jelas?"
   "Bang Mahmud sebenarnya juga sudah tidak ingin menikahi saya, Pak. Dia hanya tidak tega, membatalkannya. Kalau saya tidak berani mengambil keputusan, sampai kapan saya harus menunggu?"
   "Jadi kita harus bagaimana, Ida?" keluh ibunya pahit.
   "Meskipun cacat, saya masih punya harga diri, Bu. Saya tidak mau mengemis minta dinikahi oleh seorang pria yang tidak menginginkan saya".
   Ibunya tidak mampu lagi mengucapkan sepatah katapun. Hanya airmatanya yang meleleh membasahi pipinya.
   "Lelaki macam Bang Mahmud tidak berharga untuk ditangisi, Bu!" sergah Winda jengkel. "Lepas dia, Kak Ida masih sanggup mendapat suami yang tujuh kali lebih baik!"
   "Dan punya dua mata!" sambung Faisal bersemangat
   "Kalau Bapak dan Ibu tidak keberatan", tukas Farida getir, "Saya ingin membatalkan pernikahan kami dan melanjutkan studi ke Jakarta".
   "Ida!" sergah ayah-ibunya berbarengan.
   "Saya pikir ini jalan yang paling baik. Yang tidak memalukan kedua belah pihak. Pernikahan dibatalkan karena saya ingin melanjutkan pelajaran ke fakultas hukum. Saya yakin mereka tidak akan menolak keinginan saya. Karena mereka juga sama bingungnya dengan kita".
   Tetapi ibu Mahmud terkejut sekali ketika mendengar rencana Farida.
   "Ke Jakarta? Masuk fakultas hukum? Berapa lama lagi pernikahan kalian harus ditunda, Ida?"
   "Saya pikir cita-cita Ida baik sekali, Bu!" sela Mahmud gembira seperti mendapat durian runtuh. Tatapannya bersorot sangat lega, seolah-olah sebuah beban yang teramat berat tiba-tiba saja tersingkir. "Kita tidak boleh menghalangi tekadnya! Buat wanita zaman sekarang, pernikahan bukan lagi yang paling penting!"
   "Buat saya, pernikahan masih tetap paling penting, Bang" cetus Farida tegas "Saya hanya ingin memiliki sesuatu yang dapat menambah rasa percaya diri saya sebagai orang cacat. Saya juga ingin belajar lebih baik agar kelak dapat menjadi istri yang tidak mengecewakan jika kesempatan itu masih ada".
   Saat itu mata mereka bertemu. Dan di dalam mata yang selalu tersorot pahit itu, mahmud menemukan sinar yang amat dingin seperti sebuah bongkahan es. Tapi sekaligus tekad yang sangat kuat laksana baja.
   Dan melihat tatapan gadis itu, senyum lenyap dari bibir Mahmud.



0 komentar:

Posting Komentar